my playlist


Sabtu, 14 Mei 2011

DUNIA PERNIKAHAN


Dunia pernikahan, konon kabarnya, indah. Sedangkan dunia kehidupan para sahabat, unik. Sampai saat ini reputasi mereka yang demikian tinggi, hingga dipuji Allah sebagai khaira ummat(QS.3:110), masih belum tertandingi. Kalau kita melongok dunia pernikahan para sahabat, maka kita akan menemukan beragam kisah yang indah dan unik.
Dalam soal mahar, misalnya, sering jadi batu sandungan serius bagi para pasangan muda yang ingin menikah. Termasuk juga tuntutan adat dengan segala tetek bengeknya, ditambah dengan menggejalanya gaya hidup mahal hingga iklan bertubi-tubi menggoda untuk “membantu” mengadakan walimatul ursy (resepsi pernikahan). Lengkaplah penghalang nikah bagi mereka yang belum dikaruniai rizqi besar.
Tapi, coba lihat bagaimana Rasulullah SAW menyelesaikan mahar Ali ra ketika ingin menikahi Tatimah, putri beliau.
Ali bertutur: :Demi Allah, aku begitu gemetar hingga tatkala aku berhadapan dengan Rasulullah, aku terdiam, Demi Allah aku tidak dapat berbicara sedikitpun karena keagungan dan kewibawaannya.”
Rasulullah SAW, kemudian berkata: “Ada apa kau datang, apakah kau ada keperluan?”
Ali terdiam.
“Barangkali kau ingin melamar Fatimah?”
“Ya.”
“Apakah kau memiliki sesuatu yang dapat menghalalkannya?”
“Tidak ada, ya Rasulullah.”
“Bukankah baju besimu dapat kau jadikan mahar? Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, Dia adalah sang Penghancur Pedang, yang berharga 400 dirham.”
Ali pasrah,”Baiklah.”
Maka jadilah pernikahan itu dengan perkataan Nabi SAW:”Aku nikahkan kau dengannya, ambilah barang itu agar kau halal dengannya.”(HR.al Baihaqi dari Ali ra).
Batu sandungan yang lain adalah masalah tekad. Bahkan kekuataan tekad menjadi lebih urgen lagi pada masa kini, saat banyak pemuda/pemudi Muslim berniat melakukan terobosan dengan menikah dini.
Simaklah tekad baja Bilal bin Rabbah ketika ia ingin menikah. Ia pergi, bersama saudaranya, ke Yaman untuk melamar putri salah satu keluarga di sana.
“Saya Bilal dan ini saudaraku. Kami adalah dua orang budak dari Habasyah. Kami dahulu sesat lalu Allah memberi kami hidayah. Kami pun dahulu budak, lalu Allah bebaskan kami. Jika anda berkenan menikahkan kami, maka Alhamdulillah dan jika anda menolak kami, maka Allahu Akbar.”(HR. Ibnu Sa’ad dari Sya’bi).
Begitulah para sahabat. Orang-orang yang sederhana dan teguh dalam memegang prinsip-prinsip Islam. Tali ukhuwwah di antara mereka begitu kuat, hingga biasa bersikap itsar(saling mendahulukan kepentingan saudaranya dari kepentingannya sendiri). Termasuk dalam masalah jodoh.
Suatu saat Abu Darda pergi bersama Salman al Farisi untuk mengkhitbah(melamar) seorang wanita dari Bani Laits. Abu Darda lalu menyebutkan kebaikan-kebaikan Salman, termasuk keutamaannya sebagai orang yang lebih dahulu masuk Islam daripada dirinya. Setelah itu Abu Darda mengungkapkan maksudnya untuk melamar putrid fulanah bagi sahabatnya Salman.
Namun, apa jawab para wali sang gadis, “Adapun Salman, kami tidak ingin menikahkannya. Tapi kami ingin menikahkanmu.”
Kemudian, mereka menikahkan Abu Darda dengan gadis tersebut. Saat pulang, Abu Darda berkata pada Salman, “Sesungguhnya ada sesuatu yang aku malu menyebutkannya padamu.”
“Apa itu?”
Lalu Abu Darda membeberkan permasalahan yang mengganggu hatinya. Rupanya ia merasa tidak enak hati Karen menikahi gadis yang dilamar Salman.
“Saya yang lebih berhak malu daripada engkau, karena telah melamarnya, padahal Allah telah menetapkannya untukmu,”kata Salman.
Saat setelah menikah pun, banyak episode indah sebagaimana yang tercatat dalam sejarah.
Sebuah riwayat mengisahkan tentang seorang istri tukang kayu, yang kemudian masuk Jannah karena perlakuan baiknya pada sang suami. “Apabila suamiku mencari kayu di gunung, lalu menjualnya untuk mencukupi segala kebutuhan, aku ikut merasakan kepayahan yang dideritanya. Kerongkonganku terasa panas membayangkan kehausannya di gunung.”
“Maka aku menyiapkan air dingin baginya apabila ia pulang. Aku merapikan barang-barang dan menyiapkan makanannya. Kemudian aku berdiri menunggu kepulangannya dengan mengenakan bajuku yang terbaik.”
“Apabila ia masuk ke dalam rumah, aku menyambutnya seperti seorang pengantin wanita menyambut pengantin lelaki, seraya kuserahkan diriku sepenuhnya. Jika ia menghendaki ketengangan, akupun membantunya. Jika ia menghendaki diriku, aku pun berada dalam pelukannya seperti seorang anak kecil yang dipermainkan ayahnya.”
Tentang keteladanan seorang istri, kita mengenal perihidup Khadijah binti Khuwailid ra, istri pertama Nabi SAW. Kekayaannya memungkinkan Nabi SAW berkhalwat dengan tengan di gua Hira, hingga turun wahyu. Beliau pula yang pertama-tama menerima Islam. Lalu dia juga yang mendukung gerakan da’wah dalam segala aspeknya, sampai saat meninggal.
Dengan segala dukungannya yang tulus di masa-masa sulit itu, tidak heran kalau Jibril as, sempat menyampaikan salam dari Allah Rabul Jalali.
Jibril datang kepada Rasulullah lalu berkata, “Ya, Rasulullah, ini Khadijah telah datang kepadamu membawa wadah berisi makanan. Apabila ia datang kepadamu, sampaikanlah salam dari Rabb-nya Azza wa Jalla dan dari aku. Beritahukan kepadanya tentang sebuah rumah baginya di jannah, yang terbuat dari permata, tiada kebisingan ataupun kesusahannya di dalamnya.”(HR.Muslim dari Abu Hurairah).
Dalam hal keteladanan suami, banyaknya yang bisa diteladani dari kehidupan Rasulullah SAW. Beliau selalu menyempatkan diri untuk membantu istri-istrimu, sebagaimana dikatakan oleh Aisyah, “Rasulullah selalu membantu istrinya. Apabila tiba waktu sholat, beliau pergi untuk menunaikan sholat.”(HR.Bukhari dan Tirmidzi) Tercatat dalam sejarah bagaimna beliau sering memperbaiki sandal, memerah susu kambing, mengasuh anak dan lain sebagainya. Kharisma dan sifat qawwam (kepemimpinan) beliau tidak mengahalangi beliau untuk bercanda ria dengan para istrinya pada waktu-waktu tertentu.
Masih banyak lagi kisah-kisah indah yang bertauran sepanjang sejarah. Semuanya mengisyaratkan satu hal: manakala pernikahan dilangsungkandengan niat ibadah dan ditegakkan dalam kerangka syari’at, maka insya Allah, terciptalah suasana baiti jannati(rumahku surgaku).


PERNIKAHAN DINI, WAJIBKAH?

Apa Arti Perenikahan Dini?
Tak dapat dipungkiri bahwa “pernikahan dini” adalah istilah kontemporer. Dini dikaitkan dengan waktu, yakni sangat awal waktu tertentu. Lawannya adalah pernikahan kadaluawarsa. Bagi orang-orang yang hidup pada awal-awal abad 20 atau sebelumnya, pernikahan seorang wanita pada usia 13-14 tahun atau lelaki pada usia 17-18 tahun adalah hal biasa. Tidak istimewa. Tetapi bagi masyarakat kini, hal itu merupakan sebuah keanehan. Wanita yang menikah sebelum usia 20 tahun atau lelaki sebelum 25 tahun pun dianggap tidak wajar, “terlalu dini” istilahnya.

Batas Usia Nikah
Usia menikah ditentukan oleh tingkat kedewasaan seseorang (baligh), yakni tatkala diharapkan ia sudah dapat membedakan kebaikan dengan keburukan (mumaaayyiz). Dalam kasusu pernikahan berarti ia dapat menentukan pilihan terbaik bagi ririnya sipa orang yang akn dijadikan suaminya. Islam mensyari’atkan persetujuan wanita, sebagai contoh, sebagai syarat sah perkawinan.
“Dari Ibnu Abbas ra, katanya Nabi SAW bersabda, “Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya. Dan seorang gadis harus dimimta persetujuan daripadanya, persetujuaannya itu ialah jika ia diam.”(HR.Muslim)
Dari Aisyah ra katanya, “Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang seorang sahaya perempuan yang hendak dikawinkan oleh keluarganya. Perlukah diminta persetujuanya ataukah tidak?” Jawab Rasulullah Saw, “Ya, perlu!” Tanya Aisyah ra, “Dia pemalu, bagaimana itu?” Jawab Rasulullah SAW, “Itulah tandanya setuju, yaitu apabila dia diam.”(HR.Muslim)
Mengenai berapa usia kesewasaan, agaknya bersifat relatif. Aisyah ra berkata, “Rasulullah SAW mengawiniku pada usia enam tahun. Mulai berumah tangga pada usia sembilan tahun. Lalu kami hijrah ke Madinah….”(HR.Muslim)

Nikah Dini Wajibkah?
Sayid Sabiq menyatakan bahwa hokum menikah bagi seseorang hukumnya bisa wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Hukum-hukum itu berlaku bagi seseorang mengikuti kondisi-kondisi yang menyertrainya. Seorang laki-laki baligh, mampu mencari nafkah, dan dorongan syahwatnya demikian bergejolak, maka wajib baginya untuk menikah. Sebaliknya, haram jika tetap memilih hidup membujang.
Keinginan terhadap lawan jenis sebenarnya “fitrah” manusia dan tampaknya tak ada jalan keluar untuk penyalurannya kecuali menikah(mempunyai istri). “Dihiasi pada diri manusia kecintaan syahwat terhadap wanita…”(QS.Ali Imran:14). Dari Jabir ra, katanya dia mendengar Nabi Saw bersabda, “Apabila ada di antara kamu yang tergoda hatinya kepada seorang wanita, maka hendaklah ia pulang kepada istrinya untuk melepaskan rasa rindunya. Sesungguhnya yang demikian itu dapat menentramkan gejolak hatinya.”(HR.Muslim). Anjuran Rasulullah SAW kepada para pemuda untuk berpuasa, dapat ditafsirkan sebagai suatu langkah “darurat” disaat seseorang tidak memiliki kemampuan yang layak sebagai suami(al baah).
Dengan menimbang aspek-aspek syria’at di atas, asalnya, seseorang diwajibkan menikah sesegera mungkin begitu ia menginjak baligh. Dalam pengertian inilah “pernikahan dini” dapat dikatakan sebagai suatu hal yang amat dianjurkan dalam Islam, kalau tidak diwajibkan. Rasulullah SAW sendiri melukiskan betapa dasyatnya godaan yang muncul akibat seorang laki-laki melihat lawan jenisnya, sekalipun lelaki itu telah mempunyai istri. Padahal mereka hidup pada zaman terbaik, saat hijab diterapkan. Apatah lagi lelaki pada masa sekarang yang hidup di tengah masyarakat yang sama sekali tidak mau tahu dengan nilai-nilai Islam? Sedangka untuk wanita, Rasulullah SAW bersabda, “salah satu tanda keberkahan wanita ialah cepat perkawinannya, cepat pula mengandungnya dan ringan maharnya.”(Riwayat Ahmad dan Baihaqi).


CERITA DINI
Satu hari, dua tahun yang lalu, Dini(20 tahun) kedatangan Dedi. Pria aktivis masjid yang selama ini tak dikenalnya itu menawarkan satu hal: menikah. Alasan yang dikemukakannya ketika ta’aruf(perkenalan) cukup singkat: Dedi ingin menikah untuk menjaga diri dan melaksanakan sunnah Nabi. Entah kenapa, saat itu, Dini merasa amat yakin dan tenang untuk menjawab: Ya, melalui anggukan kepala. Keyakinan kian bertambah ketika usai melaksanakan shalat istikharah, seolah bisikan ghaib itu bergema dalam hatinya.
Tapi, ketika Dedi berkunjung ke rumah orang tua Dini, baru terungkap satu masalah: maisyah (penghasilan). Ya, Dedi usianya baru menginjak 22 tahun, mempunyai penghasilan yang amat minim. Untuk biaya mereka berdua, yang kebetulan belum selesai kuliah, maisyah Dedi bak jauh tangga dari langit. Apalagi, entah Karena wajah Dedi yang baby face, penampilan Dedi tak jauh beda dengan kebanyakan anak SMU. Hanya gaya bicara dan sikapnya yang menunjukkan bahwa ia dewasa. Sedikit banyak dua hal itu memberi saham bagi keraguan kedua orang tua Dini. Tapi, bi idznillah, Dedi dan Dini seolah satu hati. Tekad mereka satu: jalan terus.
Akhirnya, dengan berbekal semangat dan dana secukupnya –sesuai standar Dedi yang lebih banyak mencurahkan waktunya untuk da’wah- acara akad dan walimah berlangsung juga. Kesederhanaan berpadu dengan kekhusu’an mewarnai hari bahagia dua insan takwa itu.
Kini, perkawinan mereka menginjak tahun kedua. Bukan tak ada masalah memang. Hingga kini Dedi harus merelakan diri menunda kuliahnya. Ia memberi kesempatan bagi Dini untuk selesai lebih dahulu. Dedi pun harus bekerja ekstra keras. Ngurus kuliah sambil bekerja. Tatapan mata penuh Tanya dari rekan-rekan kampusnya hingga kini masih saja membayangi dirinya.

Tidak ada komentar: