my playlist


Sabtu, 14 Mei 2011

TAMPIL GAGAH DENGAN SHALAT BERJAMAAH

Seorang buta datang menghadap Nabi minta izin tidak melaksanakan shalat berjamaah. Ia minta diberi keringanan karena penuntunnya ke mesjid sudah tiada, alangkah baiknya bila ia diperbolehkan shalat di rumahnya sendiri. Nabi mengizinkannya, tapi ketika si buta hendak kembali, Rasulullah memanggilnya, kemudian bertanya,”Apakah engkau mendengar suara adzan?” Ya jawab si laki-laki. “Jika demikian engkau tetap harus shalat berjamaah,” kata Rasulullah
Rasulullah meralat izin yang telah diberikan kepada seseorang buta dan tidak punya penuntun ke mesjid. Jadi dalam kondisi seperti itu, seseorang tetap tidak diizinkan shalat sendirian di rumahnya. Selagi seruan adzan masih terdengar, wajib atas setiap muslim mendatangi mesjid terdekat, melaksanakan shalat secara berjama’ah.
Jika seorang yang buta lagi tak punya penuntun masih diwajibkan datang ke mesjid untuk melaksanakan shalat berjama’ah lima kali sehari, bagaimana dengan mereka yang melek matanya? Tentu saja tidak ada alasan untuk minta keringanan. Selagi adzan masih bisa didengar, shalat berjama’ah wajib didatangi.
Dalam kaitan ini Rasulullah bersabda:
“Tidak sah shalat tetangga mesjid kecuali di masjid”(HR Ad Dharuquthni)
Tetangga masjid adalah mereka yang berada di seputar masjid, yang radiusnya meliputi siapa saja yang mendengar seruan adzan. Selagi ada di rumah, wajib atas mereka mendatangi shalat berjama’ah.
Ibnu Mas’ud, sahabat dekat Nabi pernah berkata:”Siapa yang ingin bertemu(berhadpan) dengan Allah kelak sebagai seorang muslim, maka hendaknya menjaga shalat lima waktu berjama’ah di tempat diserukan adzan, karena Allah telah menetapkan syari’at Nabimu sunanak-huda, cara-cara melakukan ibadah, dan shalat berjama’ah di masjid termasuk dari sunanal-huda. Andaikata kamu shalat di rumahmu sebagaimana orang-orang yang tidak shalat berjama’ah itu, berarti kamu telah meninggalkan sunnah Nabimu. Bila kamu meninggalkan sunnah Nabimu berarti kamu sesat. Kamu ketahui bahwa kami para sahabat dahulu tidak ada yang tertinggal untuk shalat berjama’ah kecuali orang munafik yang terang kemunafikannya. Bahkan adakalanya seorang tua dibopong oleh dua orang untuk ditegakkan di shaf” (HR Muslim)
Lagi-lagi kita dikejutkan oleh peringatan Ibnu Mas’ud yang cukup keras ini. Katanya,hanya orang-orang munafiq yang telah gamblang kemunafikannya saja yang tidak menghadiri shalat berjama’ah. Jadi betapa pentingnya shalat berjama’ah itu. Bagi para sahabat kedudukan shalat berjama’ah tidak hanya memburu pahala 27 derajat. Lebih dari itu, adalah pembuktian keislamannya. “Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkan shalat, berarti kafir.” Kata Nabi suatu ketika.
Agar ke Islamannya jelas diketahui oleh khalayak ramai, maka perlu ditunjukkan, bukan dipamerkan. Caranya? Datang ke masjid, melaksanakan shalat berjama’ah. Identitas kita bukan terletak pada kopiah di kepala, bukan pada baju gamis dan sarung. Identitas itu diketahui dari intensitas shalat berjama’ah.
Dengan begitu sangat wajar bila Nabi tidak mengizinkan orang buta lsgi tidak punya penuntun untuk shalat sendirian di rumah. Wajar saja bila orang sudah tua renta tetap dibopong ke masjid untuk mengikuti shalat berjama’ah. Bagaimana dengan kita yang masih sehat dan segar bugar ini? Apakah hanya karena alasan malas kemudian kita tinggalkan shalat berjama’ah begitu saja? Apakah karena sibuk, kemudian kita shalat sendiri di rumah?
Memang tidak gampang mendirikan shalat berjama’ah secara istiqomah. Rumah yang dekat dengan masjid, ibaratnya hanya tinggal berjalan selangkah saja belum menjamin penghuninya selalu shalat berjama’ah. Apalagi rumahnya agak jauh. Apalagi punya kesibukan. Apalagi ini, apalagi itu.
Memang untuk itu adanya iman. Tanpa iaman mana mungkin orang datang shalat. Sekedar datang ke masjid saja berat, apalagi shalat berjama’ah secara rutin lima kali sehari. Ini bisa dibuktikan. Undanglah pengajian di masjid, yang datang bisa dihitung dengan jari. Tapi bikinlah undangan pengajian di rumah, yang datang pasti berjubel. Maka betul firman Allah: “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah. Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS At Taubah : 18)
Adalah kewajiban semua mukmin memakmurkan masjidnya, utamanya tetangga dekat masjid. Salah satu acara pokok rutin harian yang harus diwujudkan adalah menghidupkan suasana shalat berjama’ah selain majlis ta’lim dan aktivitas lainnya.
Disebut masjid karena tempat itu dijadikan kamu muslimin sebagai tempat sujud. Karenanya di setiap masjid hendaknya dikumandangkan adzan tepat pada waktunya, agar para jama’ah segera bangkit meninggalkan kesibukannya untuk mendatangi masjid. Shalat berjama’ah itu lebih penting dari apapun juga. Perdagangan bagaimanapun besar keuntungannya tak bisa dibandingkan dengan nilai shalat berjama’ah. Hanya saja kebanyakkan kita belum tahu atau tidak mau tahu.
Karenanya beratlah tugas imam rawatib, sebaiknya yang menjadi imam rawatib itu adalah tokoh masyarakat. Tugasnya tidak hanya mengimami shalat berjama’ah, tapi juga menjadi imam masyarakatnya. Bahkan kalau bisa, tugas-tugas kemasyarakatan itu diselesaikan di masjid. Dengan begitu akan terasa bahwa masjid itu merupakan pusat ibadah dan budaya Islam.
Sebagaimana Rasulullah, beliau tidak saja sebgai tokoh spiritual yang kiprahnya di masyarakat hanya sebagai tukang do’a. selain sebagai imam shalat Beliau juga imam di medan peperangan, imam dalam segala segi kehidupan. Kepemimpinan Nabi itu dipusatkan di masjid.
Wajar bila Rasulullah memilih rumah persis berdampingan dengan masjid, karena beliau adalah imam rawatibnya. Model masjid yang ideal adalah yang menyediakan rumah buat imam rawatib, sebagaimana model masjid Nabawi di madinah. Dengan begitu suasana kesemarakan dan kesakralan masjid tetap terawat dan terjaga.
Sayang masjid-masjid kita sekarang ini tidak lagi mencontoh model masjid Nabawi. Bahkan banyak masjid yang tidak memiliki imam rawatib. Ada masjid yang pada saat-saat tertentu libur shalat jama’ah, karena imam tidak ada sementara ma’mumnya shalat sendiri-sendiri. Ada juga karena imam rawatibnya tidak ditunjuk akhirnya setiap shalat berjama’ah hendak didirikan antar makmum saling dorong agar bersedia menjadi imam. Ini namanya imam dorongan.
Lebih tragis lagi ternyata ada masjid yang selalu ribut. Pasalnya, ada dua orang yang saling berebut menjadi imam. Masing-masing juga punya pengikut. Akhirnya suasana ibadah tidak lagi khidmat dan khusyu’ malah terasa gerah.
Imam rawatib itu mutlak harus ada pada setiap masjid, tanpa imam tidak ada jama’ah. Imam ini harus terseleksi di antara anggota jama’ah yang paling dalam ilmu agamanya, paling baik bacaannya yang lebih tua umurnya, dan tak kalah pentingnya yang paling disenangi oleh anggota jama’ah. Imam yang dibenci seharusnya tahu diri, harap mundur.
Barangsiapa berwudhu dengan air mengalir kemudia shalat berjama’ah di belakang imam yang baik bacaannya maka sungguh ia telah mendapatkan rahmat dari Allah Maha Pencipta.
Dalam suatu hadits, Rasulullah bersabda: “Sepuluh golongan yang tidak diterima shalatnya oleh Allah swt. Yaitu: seorang yang shalat sendirian tanpa suatu bacaan, seorang yang shalat tapi tidak mengeluarkan zakat, seorang jadi imam pada sekelompok kaum tapi ia sendiri dibenci oleh kelompok tersebut, budak yang lari dari majikannya, seorang yang meminum minuman keras, perempuan yang sedang dimarahi suaminya, perempuan yang shalat tanpa kerudung, pemimpin yang zalim, seorang pemakan riba, seseorang yang shalat tapi tidak bisa menghilangkan yang mungkar.”

Tidak ada komentar: