my playlist


Sabtu, 14 Mei 2011

DUNIA PERNIKAHAN


Dunia pernikahan, konon kabarnya, indah. Sedangkan dunia kehidupan para sahabat, unik. Sampai saat ini reputasi mereka yang demikian tinggi, hingga dipuji Allah sebagai khaira ummat(QS.3:110), masih belum tertandingi. Kalau kita melongok dunia pernikahan para sahabat, maka kita akan menemukan beragam kisah yang indah dan unik.
Dalam soal mahar, misalnya, sering jadi batu sandungan serius bagi para pasangan muda yang ingin menikah. Termasuk juga tuntutan adat dengan segala tetek bengeknya, ditambah dengan menggejalanya gaya hidup mahal hingga iklan bertubi-tubi menggoda untuk “membantu” mengadakan walimatul ursy (resepsi pernikahan). Lengkaplah penghalang nikah bagi mereka yang belum dikaruniai rizqi besar.
Tapi, coba lihat bagaimana Rasulullah SAW menyelesaikan mahar Ali ra ketika ingin menikahi Tatimah, putri beliau.
Ali bertutur: :Demi Allah, aku begitu gemetar hingga tatkala aku berhadapan dengan Rasulullah, aku terdiam, Demi Allah aku tidak dapat berbicara sedikitpun karena keagungan dan kewibawaannya.”
Rasulullah SAW, kemudian berkata: “Ada apa kau datang, apakah kau ada keperluan?”
Ali terdiam.
“Barangkali kau ingin melamar Fatimah?”
“Ya.”
“Apakah kau memiliki sesuatu yang dapat menghalalkannya?”
“Tidak ada, ya Rasulullah.”
“Bukankah baju besimu dapat kau jadikan mahar? Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, Dia adalah sang Penghancur Pedang, yang berharga 400 dirham.”
Ali pasrah,”Baiklah.”
Maka jadilah pernikahan itu dengan perkataan Nabi SAW:”Aku nikahkan kau dengannya, ambilah barang itu agar kau halal dengannya.”(HR.al Baihaqi dari Ali ra).
Batu sandungan yang lain adalah masalah tekad. Bahkan kekuataan tekad menjadi lebih urgen lagi pada masa kini, saat banyak pemuda/pemudi Muslim berniat melakukan terobosan dengan menikah dini.
Simaklah tekad baja Bilal bin Rabbah ketika ia ingin menikah. Ia pergi, bersama saudaranya, ke Yaman untuk melamar putri salah satu keluarga di sana.
“Saya Bilal dan ini saudaraku. Kami adalah dua orang budak dari Habasyah. Kami dahulu sesat lalu Allah memberi kami hidayah. Kami pun dahulu budak, lalu Allah bebaskan kami. Jika anda berkenan menikahkan kami, maka Alhamdulillah dan jika anda menolak kami, maka Allahu Akbar.”(HR. Ibnu Sa’ad dari Sya’bi).
Begitulah para sahabat. Orang-orang yang sederhana dan teguh dalam memegang prinsip-prinsip Islam. Tali ukhuwwah di antara mereka begitu kuat, hingga biasa bersikap itsar(saling mendahulukan kepentingan saudaranya dari kepentingannya sendiri). Termasuk dalam masalah jodoh.
Suatu saat Abu Darda pergi bersama Salman al Farisi untuk mengkhitbah(melamar) seorang wanita dari Bani Laits. Abu Darda lalu menyebutkan kebaikan-kebaikan Salman, termasuk keutamaannya sebagai orang yang lebih dahulu masuk Islam daripada dirinya. Setelah itu Abu Darda mengungkapkan maksudnya untuk melamar putrid fulanah bagi sahabatnya Salman.
Namun, apa jawab para wali sang gadis, “Adapun Salman, kami tidak ingin menikahkannya. Tapi kami ingin menikahkanmu.”
Kemudian, mereka menikahkan Abu Darda dengan gadis tersebut. Saat pulang, Abu Darda berkata pada Salman, “Sesungguhnya ada sesuatu yang aku malu menyebutkannya padamu.”
“Apa itu?”
Lalu Abu Darda membeberkan permasalahan yang mengganggu hatinya. Rupanya ia merasa tidak enak hati Karen menikahi gadis yang dilamar Salman.
“Saya yang lebih berhak malu daripada engkau, karena telah melamarnya, padahal Allah telah menetapkannya untukmu,”kata Salman.
Saat setelah menikah pun, banyak episode indah sebagaimana yang tercatat dalam sejarah.
Sebuah riwayat mengisahkan tentang seorang istri tukang kayu, yang kemudian masuk Jannah karena perlakuan baiknya pada sang suami. “Apabila suamiku mencari kayu di gunung, lalu menjualnya untuk mencukupi segala kebutuhan, aku ikut merasakan kepayahan yang dideritanya. Kerongkonganku terasa panas membayangkan kehausannya di gunung.”
“Maka aku menyiapkan air dingin baginya apabila ia pulang. Aku merapikan barang-barang dan menyiapkan makanannya. Kemudian aku berdiri menunggu kepulangannya dengan mengenakan bajuku yang terbaik.”
“Apabila ia masuk ke dalam rumah, aku menyambutnya seperti seorang pengantin wanita menyambut pengantin lelaki, seraya kuserahkan diriku sepenuhnya. Jika ia menghendaki ketengangan, akupun membantunya. Jika ia menghendaki diriku, aku pun berada dalam pelukannya seperti seorang anak kecil yang dipermainkan ayahnya.”
Tentang keteladanan seorang istri, kita mengenal perihidup Khadijah binti Khuwailid ra, istri pertama Nabi SAW. Kekayaannya memungkinkan Nabi SAW berkhalwat dengan tengan di gua Hira, hingga turun wahyu. Beliau pula yang pertama-tama menerima Islam. Lalu dia juga yang mendukung gerakan da’wah dalam segala aspeknya, sampai saat meninggal.
Dengan segala dukungannya yang tulus di masa-masa sulit itu, tidak heran kalau Jibril as, sempat menyampaikan salam dari Allah Rabul Jalali.
Jibril datang kepada Rasulullah lalu berkata, “Ya, Rasulullah, ini Khadijah telah datang kepadamu membawa wadah berisi makanan. Apabila ia datang kepadamu, sampaikanlah salam dari Rabb-nya Azza wa Jalla dan dari aku. Beritahukan kepadanya tentang sebuah rumah baginya di jannah, yang terbuat dari permata, tiada kebisingan ataupun kesusahannya di dalamnya.”(HR.Muslim dari Abu Hurairah).
Dalam hal keteladanan suami, banyaknya yang bisa diteladani dari kehidupan Rasulullah SAW. Beliau selalu menyempatkan diri untuk membantu istri-istrimu, sebagaimana dikatakan oleh Aisyah, “Rasulullah selalu membantu istrinya. Apabila tiba waktu sholat, beliau pergi untuk menunaikan sholat.”(HR.Bukhari dan Tirmidzi) Tercatat dalam sejarah bagaimna beliau sering memperbaiki sandal, memerah susu kambing, mengasuh anak dan lain sebagainya. Kharisma dan sifat qawwam (kepemimpinan) beliau tidak mengahalangi beliau untuk bercanda ria dengan para istrinya pada waktu-waktu tertentu.
Masih banyak lagi kisah-kisah indah yang bertauran sepanjang sejarah. Semuanya mengisyaratkan satu hal: manakala pernikahan dilangsungkandengan niat ibadah dan ditegakkan dalam kerangka syari’at, maka insya Allah, terciptalah suasana baiti jannati(rumahku surgaku).


PERNIKAHAN DINI, WAJIBKAH?

Apa Arti Perenikahan Dini?
Tak dapat dipungkiri bahwa “pernikahan dini” adalah istilah kontemporer. Dini dikaitkan dengan waktu, yakni sangat awal waktu tertentu. Lawannya adalah pernikahan kadaluawarsa. Bagi orang-orang yang hidup pada awal-awal abad 20 atau sebelumnya, pernikahan seorang wanita pada usia 13-14 tahun atau lelaki pada usia 17-18 tahun adalah hal biasa. Tidak istimewa. Tetapi bagi masyarakat kini, hal itu merupakan sebuah keanehan. Wanita yang menikah sebelum usia 20 tahun atau lelaki sebelum 25 tahun pun dianggap tidak wajar, “terlalu dini” istilahnya.

Batas Usia Nikah
Usia menikah ditentukan oleh tingkat kedewasaan seseorang (baligh), yakni tatkala diharapkan ia sudah dapat membedakan kebaikan dengan keburukan (mumaaayyiz). Dalam kasusu pernikahan berarti ia dapat menentukan pilihan terbaik bagi ririnya sipa orang yang akn dijadikan suaminya. Islam mensyari’atkan persetujuan wanita, sebagai contoh, sebagai syarat sah perkawinan.
“Dari Ibnu Abbas ra, katanya Nabi SAW bersabda, “Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya. Dan seorang gadis harus dimimta persetujuan daripadanya, persetujuaannya itu ialah jika ia diam.”(HR.Muslim)
Dari Aisyah ra katanya, “Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang seorang sahaya perempuan yang hendak dikawinkan oleh keluarganya. Perlukah diminta persetujuanya ataukah tidak?” Jawab Rasulullah Saw, “Ya, perlu!” Tanya Aisyah ra, “Dia pemalu, bagaimana itu?” Jawab Rasulullah SAW, “Itulah tandanya setuju, yaitu apabila dia diam.”(HR.Muslim)
Mengenai berapa usia kesewasaan, agaknya bersifat relatif. Aisyah ra berkata, “Rasulullah SAW mengawiniku pada usia enam tahun. Mulai berumah tangga pada usia sembilan tahun. Lalu kami hijrah ke Madinah….”(HR.Muslim)

Nikah Dini Wajibkah?
Sayid Sabiq menyatakan bahwa hokum menikah bagi seseorang hukumnya bisa wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Hukum-hukum itu berlaku bagi seseorang mengikuti kondisi-kondisi yang menyertrainya. Seorang laki-laki baligh, mampu mencari nafkah, dan dorongan syahwatnya demikian bergejolak, maka wajib baginya untuk menikah. Sebaliknya, haram jika tetap memilih hidup membujang.
Keinginan terhadap lawan jenis sebenarnya “fitrah” manusia dan tampaknya tak ada jalan keluar untuk penyalurannya kecuali menikah(mempunyai istri). “Dihiasi pada diri manusia kecintaan syahwat terhadap wanita…”(QS.Ali Imran:14). Dari Jabir ra, katanya dia mendengar Nabi Saw bersabda, “Apabila ada di antara kamu yang tergoda hatinya kepada seorang wanita, maka hendaklah ia pulang kepada istrinya untuk melepaskan rasa rindunya. Sesungguhnya yang demikian itu dapat menentramkan gejolak hatinya.”(HR.Muslim). Anjuran Rasulullah SAW kepada para pemuda untuk berpuasa, dapat ditafsirkan sebagai suatu langkah “darurat” disaat seseorang tidak memiliki kemampuan yang layak sebagai suami(al baah).
Dengan menimbang aspek-aspek syria’at di atas, asalnya, seseorang diwajibkan menikah sesegera mungkin begitu ia menginjak baligh. Dalam pengertian inilah “pernikahan dini” dapat dikatakan sebagai suatu hal yang amat dianjurkan dalam Islam, kalau tidak diwajibkan. Rasulullah SAW sendiri melukiskan betapa dasyatnya godaan yang muncul akibat seorang laki-laki melihat lawan jenisnya, sekalipun lelaki itu telah mempunyai istri. Padahal mereka hidup pada zaman terbaik, saat hijab diterapkan. Apatah lagi lelaki pada masa sekarang yang hidup di tengah masyarakat yang sama sekali tidak mau tahu dengan nilai-nilai Islam? Sedangka untuk wanita, Rasulullah SAW bersabda, “salah satu tanda keberkahan wanita ialah cepat perkawinannya, cepat pula mengandungnya dan ringan maharnya.”(Riwayat Ahmad dan Baihaqi).


CERITA DINI
Satu hari, dua tahun yang lalu, Dini(20 tahun) kedatangan Dedi. Pria aktivis masjid yang selama ini tak dikenalnya itu menawarkan satu hal: menikah. Alasan yang dikemukakannya ketika ta’aruf(perkenalan) cukup singkat: Dedi ingin menikah untuk menjaga diri dan melaksanakan sunnah Nabi. Entah kenapa, saat itu, Dini merasa amat yakin dan tenang untuk menjawab: Ya, melalui anggukan kepala. Keyakinan kian bertambah ketika usai melaksanakan shalat istikharah, seolah bisikan ghaib itu bergema dalam hatinya.
Tapi, ketika Dedi berkunjung ke rumah orang tua Dini, baru terungkap satu masalah: maisyah (penghasilan). Ya, Dedi usianya baru menginjak 22 tahun, mempunyai penghasilan yang amat minim. Untuk biaya mereka berdua, yang kebetulan belum selesai kuliah, maisyah Dedi bak jauh tangga dari langit. Apalagi, entah Karena wajah Dedi yang baby face, penampilan Dedi tak jauh beda dengan kebanyakan anak SMU. Hanya gaya bicara dan sikapnya yang menunjukkan bahwa ia dewasa. Sedikit banyak dua hal itu memberi saham bagi keraguan kedua orang tua Dini. Tapi, bi idznillah, Dedi dan Dini seolah satu hati. Tekad mereka satu: jalan terus.
Akhirnya, dengan berbekal semangat dan dana secukupnya –sesuai standar Dedi yang lebih banyak mencurahkan waktunya untuk da’wah- acara akad dan walimah berlangsung juga. Kesederhanaan berpadu dengan kekhusu’an mewarnai hari bahagia dua insan takwa itu.
Kini, perkawinan mereka menginjak tahun kedua. Bukan tak ada masalah memang. Hingga kini Dedi harus merelakan diri menunda kuliahnya. Ia memberi kesempatan bagi Dini untuk selesai lebih dahulu. Dedi pun harus bekerja ekstra keras. Ngurus kuliah sambil bekerja. Tatapan mata penuh Tanya dari rekan-rekan kampusnya hingga kini masih saja membayangi dirinya.

FUTUR

Dalam hidup akan banyak ditemui bermacam jalan kadang datar, kadang menurun, kadang meninggi. Begitu pula dalam perjalanan da’wah. Ada saatnya para muharrik (orang yang bergerak) menemui jalan yang lurus dan mudah. Namun tidak jarang menjumpai onak dan duri. Hal demikian juga terjadi pada diri muharrik. Satu saat ia memiliki kondisi iman yang tinggi, disaat lain iapun dapat mengalami degradasi iman, tabiat manusia memang menggariskan demikian.
Dalam salah satu hadits Rasulullah saw bersabda,”Hati manusia itu bisa berkarat sebagaimana karatnya besi. Lalu sahabat betanya,”Bagaimana mengobatinya ya Rasulullah?” jawab Rasul”Membaca Al Qur’an dan ingat mati” Syarah dari hadits ini mensiratkan satu hal. Iman manusia tidak konstan. Ia dapat berubah karena itu dalam hadits lain, Rasul menyuruh para sahabat dan kita sekalian untuk memperbaharui iman.
Dalam kondisi iman yang turun ini, para mutaharrik kadang terkena satu penyakit yang membahayakan kelangsungan harakah, yaitu penyakit futur.
Makna Futur
Secara bahasa futur berarti terputusnya kegiatan setelah kontunyu bergerak juga berarti dalam diam setelah bersegera, atau: malas, lamban dan santai setelah sungguh-sungguh. Penyakit futur ini menimpa orang-orang yang telah bergerak. Ia tidak menimpa orang yang tidak atau belumbergerak.
Berjangkitnya penyakit futur pada diri muharrik dapat menimbulkan beberapa atsar(pengaruh) baik bagi diri muharrik sendiri maupun kepada harakah yang tengah berlangsung. Bagi muharrik, futur menyebabkan sedikitnya simpanan taat yang dimiliki. Padahal, taat merupakan syart bagi berlangsungnya amal yang ikhlas. Tanpa taat, sulit bagi muharrrik melaksanakan program harakah yang notabene tidak pernah mengiminginya dengan balasan duniawi.
Bagi harakah sendiri, futur menyebabkan panjang jalan yang harus ditempuh. Ini merupakan akibat logis dari tidak mustamirnya amal yang dilakukan. Harakah yang tidak mustamir hanya menghasilkan bangunan Islam yang juz’iyah (parsial). Bangunan yang seharusnya dapat deselesaikan dalam kurun waktu tertentu, menjadi terbengkalai karena terhentinya gerak pembangunan.
Terjadinya futur bagi muharrik, sebenarnya merupakan hal yang wajar. Asal saja tidak mengakibatkan terlepasnya muharrik dari harakah dan jama’ahnya. Hanya malaikat yang mampu kontinyu mengabdi kepada Allah dengan kualitas terbaik.
Firman Allah :
“Dan kepunyaanNyalah segala apa yang dilangit dan dibumi dan malaikat-malaikat yang di sisiNya mereka tidak mempunyai rasa angkuh untuk menyembahNya dan tidak pula merasaletih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada hentinya.” (QS AL Anbiya :19-20)
Karena itu Rasulullah sering berdo’a: “Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik umurku akhirnya. Ya Allah, jadikanlah sebaik-baiknya amalku keridhoanM. Ya Allah, jadikanlah sebaik-baiknya saat bertemu denganMu.”

Penyebab Futur
Walaupun futur merupakan hal yang mungkin terjadi bagi Muharrik, ada beberapa penyebab yang dapat menyegerakan timbulnya:
1. Berlebih-lebihan dalam Din.
Belebihan dalam Din, dengan pemaksaan diri dalam melaksanakan ibadah, hanya mengakibatkan kelelahan fisik dan mental. Tubuh dan jiwa manusia hanya dapat memikul beban berat untuk satu waktu tertentu. Jika ia didera untuk memikulnya, maka yang terjadi adalah pelanggaran terhadap fitrahnya sendiri.
Dalam suatu hadits riwayat Anas ra: pernah datang serombongan sahabat yang terdiri dari tiga orang ke rumah Rasulullah. Mereka menanyakan perihal ibadah Rasul kepada istri-istri Beliau. Setelah mendengar ketekunan Beliau, sadarlah mereka akan sedikitnya ibadah yang mereka lakukan selama ini. Sehingg berkata salah seorang diantara mereka: “Saya akan sholat sepanjang malam”. Yang kedua berkata:”Saya akan puasa selamanya.” Yang ketiga berkata:”Saya akan menjauhi istri dan tidak akan kawin.” Mendengar itu semua, Nabi lalu mendatangi mereka seraya berkata:”Demi Allah saya lebih takut kepada Allah dari Kamu, bahkan saya lebih bertaqwa. Namun saya puasa dan berbuka, saya sholat dan juga tidur, juga saya kawin. Barangsiapa mengabaikan sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits yang lain Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya Din itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulitnya kecuali dikalahkan.” (HR Muslim)
Karena itu, amal yang paling disukai Allah adalah yang sedikit tapi kontinyu.

2. Berlebih-lebihan dalam hal yang Mubah
Mubah adalah sesuatu yang dibolehkan. Namun para sahabat sangat menjaganya. Mereka lebih memilih untuk menjauhkan diri dari hal yang mubah karena takut terjatuh pada yang haram. Berlebih-lebihan dalam makanan membuat seseorang menjadi gemuk. Kegemukan akan memberatkan badan. Sehingga orang menjadi malas. Malas membuat seseorang menjadi santai. Dan santai mengakibatkan kemunduran. Karena itu, secara keseluruhan hal ini menghalangi untuk berharakah.

3. Memisahkan diri dari Jama’ah
Jauhnya seseorang dari jama’ah membuatnya mudah didekati syaitan. Rasul bersabda: “Syaitan itu hanya akan menerkan manusia yang menyendiri, seperti serigala menerkam domba yang terlepas dari kawanannya.” (HR Ahmad)
Jika syaitan telah memasuki hatinya, maka tak sungkan ia akan melahirkan zhon (prasangka) yang tidak pada tempatnya kepada jama’ah dan harakah. Dan jika ini berlanjut maka hal ini menyebabkan hilangnya tsiqoh (kepercayaan) kepada jama’ah dan harakah.
Dengan jama’ah, seseorang akan selalu mendapatkan adanya kegiatan yang selalu baru. Ini terjadi karena jama’ah merupakan kumpulan pribadi, yang masing-masing memiliki gagasan dan ide yang baru. Sedang tanpa jama’ah, seseorang dapat terperosok kepada kebosanan yang terjadi akibat kerutinan. Karena itu imam Ali ra berkata:”Sekeruh-keruh hidup jama’ah, lebih baik dari beningnya hidup sendirian”

4. Sedikit mengingat Akhirat
Banyak mengingat kehidupan akhirat membuat seseorang giat beramal. Selalu diingatkan akan adanya hisab atas setiap amalnya. Kenalikannya, sedikit mengingat akhirat menyulitkan seseorang untuk giat beramal. Ini disebabkan tidak adanya pemicu amal berupa keinginan untuk mendapatkan ganjaran disisi Allah pada Yaumul hisab nanti. Karena itu Rasulullah bersabda:”Jika sekiranya engkau mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya engkau akan banyak menangis dan sedikit tertawa”

5. Melalaikan Amalan siang dan malam
Pelaksanaan ibadah secara tekun, membuat seseorang selalu ada dalam perlindungan Allah. Selalu terjaga komunikasi sambung rasa antara ia dengan Allah. Hal ini membuatnya dapat mempersipkan kondisi ruhiyah yang baik sebagai dasar untuk berharakah. Namun sebaliknya kelalaian untuk melaksanakan amalan, berupa rangkaian ibadah baik wajib maupun sunnah, dapat membuat seseorang terjerumus untuk sedikit demi sedikit merenggangkan hubungannya dengan Allah. Jika ini terjadi, maka sulit baginya menjaga kondisi ruhiyah dalam keadaan taat kepada Allah. Kadang hal ini juga berkaitan dengan kemampuan berbicara kepada hati. Harokah yang benar, selalu memulainya dengan memanggil dengan memanggil hati manusia, sementara sedikitnya pelaksanaan ibadah membuatnya sedikit memiliki cahaya.
Allah berfirman:”Barangsiapa tidak diberi cahaya petunjuk oleh Allah, tiadalah ia mempunyai cahaya sedikitpun.” (QS 24: 40)
Barangsiapa tidak memiliki ruh maka ia tidak dapat memberi.

6. Masuknya barang yang haram ke dalam perut

7. Tidak mempersiapkan diri untuk menghadap tantangan
Setiap perjuangan sunnatullahnya selalu menghadapi tantangan. Al Haq dan Al Bathil selalu berusaha untuk memperbesar pengaruhnya masing-masing. Akan selalu ada orang-orang pendukung Islam. Di lain pihak akan selalu tumbuh orang-orang pendukung hawa nafsu. Dan dalam waktu yang Allah kehendaki akan bertemu dalam suatu “fitnah”. Dalam bahasa Arab, kata “fitnah” berasal dari kata yang digunakan untuk menggambarkan proses penyaringan emas dari batu-batu lainnya. Karena itu “fitnah” merupakan sunnatullah yang akan mengenai para muharrik. Dengan “fitnah” Allah juga menyaring siapa hamba yang masuk golongan shodiqin dan siapa yang kadzib(dusta). Dan jika fitnah itu datang, sementara tidak siap menerimanya, besar kemungkinan akan terjadi perubahan orientasi dalam harakahnya. Dan ia membuat futur. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka hati-hatilah kamu terhadap mereka” (QS 64: 14)

8. Bersahabat dengan orang-orang lemah
Kondisi lingkungan(biah), dapat menentukan kualitas seseorang. Teman yang baik akan melahirkan lingkungan yang baik. Akan tumbuh suasana tawazun dan saling menasehatkan. Sementara teman yang buruk dapat melunturkan hamazah (kemauan) yang semula telah menjadi tekad. Karena itu Rasulullah saw bersabda:
“Seseorang atas diri sahabatnya, maka hendaklah melihat salah seorang diatara kalian dengan siapa ia berteman.” (HR Abu Daud)
9. Spontasitas dalam Beramal
Amal yang tidak terencana, tidak memiliki tujuan, sasaran dan sarana yang jelas tidak dapat melahirkan hasil yang diharapakn. Hanya akan timbul kepenatan dalam berharakah, sementara hasil yang ditunggu tak kunjung datang. Karena itu setiap amalan harus memiliki minhajiyatul amal (sistematika kerja). Hal ini akan membuat ringan dan mudahnya suatu amal

10. Terjatuh ke dalam kemaksiatan
Perbuatan maksiat membuat hati tertutup dengan kefasikan. Jika kondisi ini terjadi, sulit diharapkan seorang muharrik mampu beramal untuk jama’ahnya. Bahkan untuk menjaga diri sendiripun sulit.

Pengobatannya
Untuk mengobati penyakit futur ini, beberapa ulama memberikan beberapa resep:
1. Jauh dari Kemaksiatan
Kemaksiatan akan memdatangkan kemurkaan Allah. Dan pada akhirnya akan mambawa kepada kesesatan. Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu melampaui batas yang menyebabkan kemurkaanKu menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa musibah oleh kemurkaanKu, maka binasalah ia” (QS 20: 81)
jauh dari kemaksiatan akan mendatangkan hidup yang penuh berkah. Dengan keberkahan ini seseorang dapat terhindar dari penyakit futur. Allah berfitman: “Jikalau penduduk negri-negri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan dari bumi.”(QS7:96)

2. Tekun mengerjakan amalan siang dan malam
Amalan siang dan malam dapat melingdungi dan menjaga muharrik untuk selalu berhubungan dengan Allah swt. Hal ini dapat menjauhkannya dari perbuatan yang tidak mendapat restu dari Allah. Allah berfirman:
“Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb yang Maha Penyayang itu, ialah orang yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan orang-orang yang melalui malam harinya dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka.” (QS 25:63-64)

3. Mengintai waktu-waktu yang baik
Dalam banyak hadits Rasul menginformasikan adanya waktu-waktu tertentu dimana Allah lebih memperhatikan do’a hambanya. Sepertiga malam terakhir, bulan ramadhan serta bulan Dzulqoidah, Zulhijah, Muharram, dan Rajab. Waktu-waktu itu memiliki keistimewaan yang dapat mengangkat derajat seseorang di hadapan Allah.
4. Menjauhi hal-hal yang berlebihan
Berlebihan dalam kebaikan bukan merupakan tindakan yang bijaksana apalagi berlebihan dalam keburukan. Allah memerintahkan manusia sesuai dengan kemampuannya. Firman Allah: “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah sesuai dengan kesanggupanmu!”(QS 64:16)
Islam adalah Din tawazun(keseimbangan). Disuruhnya pemeluknya memperhatikan akhirat, namun jangan melupakan kehidupan dunia. Seluruh anggota tubuh dan jiwa memiliki haknya masing-masing yang harus ditunaikan. Dalam ayat lain Allah berfirman:
“Demikianlah Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat pertengahan (adil)dan pilihan.” (QS 2:143)
5. Melazimi jama’ah
“Jama’ah itu rahmat, firqoh (pengelompokkan) itu adzab.” Demikianlah sabda Rasulullah. Dalam hadits yang lain:”Barangsiapa menghendaki tengahnya surga, maka hendaknya ia melazimi jama’ah”. Dengan jama’ah seorang muharrik akan selalu berada dalam majelis dzikir dan pikir. Hal ini membuatnya selalu terikat dengan komitmennya semula. Juga jama’ah dapat memberikan program dan kegiatan yang variatif, sehingga terhindarlah ia dari kebosanan dan kerutinan.

6. Mengenal kendala yang akan menghadang
Pengetahuan akan tabiat jalan yang hendak dilalui serta rambu-rambu yang ada, niscaya membuat seorang muharrik siap, minimal tidak gentar, untuk menjalani rintangan yang datang. Allah berfirman:
“Dan berapa banyak Nabi yang berperang bersama mereka sebagian besar karena bencana yang menimpa di jalan Allah, dan tidak pula leseu dan tidak pula menyerah kepada musuh. Allah menyukai orang-orang yang sabar.”(QS3:146)
7. Teliti dan Sistematik dalam kerja
Dengan perencanaan yang baik, pembagian tugas yang jelas, serta kesadaran akan tanggung jawab yang diemban, dapat membuat harakah menjadi harakatun natijah (harakah yang berhasil). Perencanaan akan menyadarkan muharrik, bahwa jalan yang ditempuh amat panjang. Tujuan yang ingin dicapai amat besar. Karena itu juga dibutuhkan waktu, amal dan pengorbanan yang besar. Jika ini semua telah dimengerti insya Allah akan tercapai sasaran-sasaran yang telah ditentukan.

8. Memilih teman yang shalih
9. Menghibur diri dengan hal yang mubah
Bercengkrama dengan keluarga, mengambil secukupnya kegiatan rekreatif serta memberikan hak badan secara cukup mampu membuat diri menjadi segar kembali untuk melanjutkan amal yang sedang dikerjakan.
10. Mengingat mati, surga, dan neraka
11. Muhasabah (menghisab) diri

SIKSA MENINGGALKAN SHALAT

Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.(QS:Ibrahim:40)

Barang siapa melalaikan shalat, Allah SWT akan menyiksanya dengan 15 siksaan. Enam siksaan di dunia, tiga siksaan ketika meninggal, tiga siksaan di alam kubur, tiga siksaan saat bertemu dengan Allah SWT.

Ketika Malaikat Jibril turun dan berjumpa dengan Rasulullah SAW, ia berkata, “Wahai Muhammad, Allah tidak akan menerima puasa, zakat, haji, sedekah, dan amal saleh seseorang yang meninggalkan shalat. Ia dilaknat di dalam Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Quran. Demi Allah, yang telah mengutusmu sebagai nabi pembawa kebenaran, sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat, setiap hari mendapat 1.000 laknat dan murka. Para malaikat melaknatnya dari langit pertama hingga ketujuh.

Orang yang meninggalkan shalat tidak memperoleh minuman dari telaga surga, tidak mendapat syafaatmu, dan tidak termasuk dalam umatmu. Ia tidak berhak dijenguk ketika sakit, diantarkan jenazahnya, diberi salam, diajak makan dan minum. Ia juga tidak berhak memperoleh rahmat Allah.Tempatnya kelak di dasar neraka bersama orang-orang munafik, siksanya akan dilipatgandakan, dan di hari kiamat ketika dipanggil untuk diadili akan datang dengan tangan terikat di lehernya. Para malaikat memukulinya, pintu neraka jahanam akan dibukakan baginya, dan ia melesat bagai anak panah ke dalamnya, terjun dengan kepala terlebih dulu, menukik ke tempat Qarun dan Haman di dasar neraka.

Ketika ia menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, makanan itu berkata, ‘Wahai musuh Allah, semoga Allah melaknatmu, kamu memakan rezeki Allah namun tidak menunaikan kewajiban-kewajiban dari-Nya.’ Ketahuilah, sesungguhnya bencana yang paling dahsyat, perbuatan yang paling buruk, dan aib yang paling nista adalah kurangnya perhatian terhadap shalat lima waktu, shalat Jumat, dan shalat berjemaah. Padahal, semua itu ibadah-ibadah yang oleh Allah SWT ditinggikan derajatnya, dan dihapuskan dosa-dosa maksiat bagi siapa saja yang menjalankannya.

Orang yang meninggalkan shalat karena urusan dunia akan celaka nasibnya, berat siksanya, merugi perdagangannya, besar musibahnya, dan panjang penyesalannya. Ia dibenci Allah, dan akan mati dalam keadaan tidak Islam, tinggal di neraka Jahim atau kembali ke neraka Hawiyah.”

Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa meninggalkan shalat hingga terlewat waktunya, lalu mengadanya, ia akan disiksa di neraka selama satu huqub (80 tahun).... Sedangkan ukuran satu hari di akhirat adalah 1.000 tahun di dunia.” Demikian tertulis dalam kitab Majalisul Akbar.

Sementara dalam kitab Qurratul Uyun, Abu Laits Samarqandi menulis sebuah hadis, “Barang siapa meninggalkan shalat fardu dengan sengaja walaupun satu shalat, namanya akan tertulis di pintu neraka yang ia masuki.” Ibnu Abbas berkata, ”Suatu ketika Rasulullah SAW bersabda, ‘Katakanlah, ya Allah, janganlah salah seorang dari kami menjadi orang-orang yang sengsara.’ Kemudian Rasulullah SAW bertanya, ‘Tahukah kamu siapakah mereka itu?’ Para sahabat menjawab, ‘Mereka adalah orang yang meninggalkan shalat. Dalam Islam mereka tidak akan mendapat bagian apa pun’.

Disebutkan dalam hadis lain, barang siapa meninggalkan shalat tanpa alasan yang dibenarkan syariat, pada hari kiamat Allah SWT tidak akan memedulikannya, bahkan Allah SWT akan menyiksanya dengan azab yang pedih. Diriwayatkan, pada suatu hari Rasulullah SAW berkata, ”Katakanlah, ya Allah, janganlah Engkau jadikan seorang pun di antara kami celaka dan diharamkan dari kebaikan.”“Tahukah kalian siapakah orang yang celaka, dan diharamkan dari kebaikan?”“Siapa, ya, Rasulullah?” “Orang yang meninggalkan shalat,” jawab Rasulullah. Dalam hadis yang berhubungan dengan peristiwa Isra Mi'raj, Rasulullah SAW mendapati suatu kaum yang membenturkan batu ke kepala mereka. Setiap kali kepala mereka pecah, Allah memulihkannya seperti sedia kala. Demikianlah mereka melakukannya berulang kali. Lalu, beliau bertanya kepada Jibril, “Wahai Jibril, siapakah mereka itu?”
“Mereka adalah orang-orang yang kepalanya merasa berat untuk mengerjakan shalat,” jawab Jibril.

Diriwayatkan pula (dalam kitab yawaqit wal jawahir) di neraka Jahanam ada suatu lembah bernama Wail. Andaikan semua gunung di dunia dijatuhkan ke dalamnya akan meleleh karena panasnya yang dahsyat. Wail adalah tempat orang-orang yang meremehkan dan melalaikan shalat, kecuali jika mereka bertobat.
Bagi mereka yang memelihara shalat secara baik dan benar, Allah SWT akan memuliakannya dengan lima hal, dihindarkan dari kesempitan hidup, diselamatkan dari siksa kubur, dikaruniai kemampuan untuk menerima kitab catatan amal dengan tangan kanan, dapat melewati jembatan shirathal mustaqim secepat kilat, dan dimasukkan ke dalam surga tanpa hisab.
Dan barang siapa meremehkan atau melalaikan shalat, Allah SWT akan menyiksanya dengan 15 siksaan. Enam siksaan di dunia, tiga siksaan ketika meninggal, tiga siksaan di alam kubur, dan tiga siksaan saat bertemu dengan Allah SAW.
Adapun enam siksaan yang ditimpakan di dunia adalah dicabut keberkahan umurnya, dihapus tanda kesalehan dari wajahnya (pancaran kasih sayang terhadap sesama), tidak diberi pahala oleh Allah semua amal yang dilakukannya, doanya tidak diangkat ke langit, tidak memperoleh bagian doa kaum salihin, dan tidak beriman ketika roh dicabut dari tubuhnya. Adapun tiga siksaan yang ditimpakan saat meninggal dunia ialah mati secara hina, mati dalam keadaan lapar, dan mati dalam keadaan haus. Andai kata diberi minum sebanyak lautan, ia tidak akan merasa puas.
Sedangkan tiga siksaan yang didapat dalam kubur ialah, kubur mengimpitnya hingga tulang-belulangnya berantakan, kuburnya dibakar hingga sepanjang siang dan malam tubuhnya berkelojotan menahan panas, tubuhnya diserahkan kepada seekor ular bernama Asy-Syujaul Aqra. Kedua mata ular itu berupa api dan kukunya berupa besi, kukunya sepanjang satu hari perjalanan. ”Aku diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyiksamu, karena engkau mengundurkan sholat Subuh hingga terbit matahari, mengundurkan sholat Zuhur hingga Asar, mengundurkan sholat Asar hingga Magrib, mengundurkan sholat Magrib hingga Isya, dan mengundurkan sholat Isya hingga Subuh,” kata ular itu. Setiap kali ular itu memukul, tubuh mayat tersebut melesak 70 hasta, sekitar 3.000 meter, ke dalam bumi. Ia disiksa dalam kubur hingga hari kiamat. Di hari kiamat, di wajahnya akan tertulis kalimat berikut: Wahai orang yang mengabaikan hak-hak Allah, wahai orang yang dikhususkan untuk menerima siksa Allah, di dunia kau telah mengabaikan hak-hak Allah, maka hari ini berputus asalah kamu dari rahmat-Nya.
Adapun tiga siksaan yang dilakukan ketika bertemu dengan Allah SWT adalah, pertama, ketika langit terbelah, malaikat menemuinya, membawa rantai sepanjang 70 hasta untuk mengikat lehernya. Kemudian memasukkan rantai itu ke dalam mulut dan mengeluarkannya dari duburnya. Kadang kala ia mengeluarkannya dari bagian depan atau belakang tubuhnya. Malaikat itu berkata, ”Inilah balasan bagi orang yang mengabaikan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan Allah.” Ibnu Abas berkata, ”Andai kata satu mata rantai itu jatuh ke dunia, niscaya cukup untuk membakarnya.”
Kedua, Allah tidak memandangnya. Ketiga, Allah tidak menyucikannya, dan ia memperoleh siksa yang amat pedih. Demikianlah ancaman bagi orang-orang yang sengaja melalaikan sholat. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada orang yang bersegera menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya. Amin..


Rasulullah SAW bersabda, “Sembahlah Allah seakan engkau melihat-Nya. Apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
(HR Bukhari dan Muslim)

wallahua'lam bishawab

TAMPIL GAGAH DENGAN SHALAT BERJAMAAH

Seorang buta datang menghadap Nabi minta izin tidak melaksanakan shalat berjamaah. Ia minta diberi keringanan karena penuntunnya ke mesjid sudah tiada, alangkah baiknya bila ia diperbolehkan shalat di rumahnya sendiri. Nabi mengizinkannya, tapi ketika si buta hendak kembali, Rasulullah memanggilnya, kemudian bertanya,”Apakah engkau mendengar suara adzan?” Ya jawab si laki-laki. “Jika demikian engkau tetap harus shalat berjamaah,” kata Rasulullah
Rasulullah meralat izin yang telah diberikan kepada seseorang buta dan tidak punya penuntun ke mesjid. Jadi dalam kondisi seperti itu, seseorang tetap tidak diizinkan shalat sendirian di rumahnya. Selagi seruan adzan masih terdengar, wajib atas setiap muslim mendatangi mesjid terdekat, melaksanakan shalat secara berjama’ah.
Jika seorang yang buta lagi tak punya penuntun masih diwajibkan datang ke mesjid untuk melaksanakan shalat berjama’ah lima kali sehari, bagaimana dengan mereka yang melek matanya? Tentu saja tidak ada alasan untuk minta keringanan. Selagi adzan masih bisa didengar, shalat berjama’ah wajib didatangi.
Dalam kaitan ini Rasulullah bersabda:
“Tidak sah shalat tetangga mesjid kecuali di masjid”(HR Ad Dharuquthni)
Tetangga masjid adalah mereka yang berada di seputar masjid, yang radiusnya meliputi siapa saja yang mendengar seruan adzan. Selagi ada di rumah, wajib atas mereka mendatangi shalat berjama’ah.
Ibnu Mas’ud, sahabat dekat Nabi pernah berkata:”Siapa yang ingin bertemu(berhadpan) dengan Allah kelak sebagai seorang muslim, maka hendaknya menjaga shalat lima waktu berjama’ah di tempat diserukan adzan, karena Allah telah menetapkan syari’at Nabimu sunanak-huda, cara-cara melakukan ibadah, dan shalat berjama’ah di masjid termasuk dari sunanal-huda. Andaikata kamu shalat di rumahmu sebagaimana orang-orang yang tidak shalat berjama’ah itu, berarti kamu telah meninggalkan sunnah Nabimu. Bila kamu meninggalkan sunnah Nabimu berarti kamu sesat. Kamu ketahui bahwa kami para sahabat dahulu tidak ada yang tertinggal untuk shalat berjama’ah kecuali orang munafik yang terang kemunafikannya. Bahkan adakalanya seorang tua dibopong oleh dua orang untuk ditegakkan di shaf” (HR Muslim)
Lagi-lagi kita dikejutkan oleh peringatan Ibnu Mas’ud yang cukup keras ini. Katanya,hanya orang-orang munafiq yang telah gamblang kemunafikannya saja yang tidak menghadiri shalat berjama’ah. Jadi betapa pentingnya shalat berjama’ah itu. Bagi para sahabat kedudukan shalat berjama’ah tidak hanya memburu pahala 27 derajat. Lebih dari itu, adalah pembuktian keislamannya. “Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkan shalat, berarti kafir.” Kata Nabi suatu ketika.
Agar ke Islamannya jelas diketahui oleh khalayak ramai, maka perlu ditunjukkan, bukan dipamerkan. Caranya? Datang ke masjid, melaksanakan shalat berjama’ah. Identitas kita bukan terletak pada kopiah di kepala, bukan pada baju gamis dan sarung. Identitas itu diketahui dari intensitas shalat berjama’ah.
Dengan begitu sangat wajar bila Nabi tidak mengizinkan orang buta lsgi tidak punya penuntun untuk shalat sendirian di rumah. Wajar saja bila orang sudah tua renta tetap dibopong ke masjid untuk mengikuti shalat berjama’ah. Bagaimana dengan kita yang masih sehat dan segar bugar ini? Apakah hanya karena alasan malas kemudian kita tinggalkan shalat berjama’ah begitu saja? Apakah karena sibuk, kemudian kita shalat sendiri di rumah?
Memang tidak gampang mendirikan shalat berjama’ah secara istiqomah. Rumah yang dekat dengan masjid, ibaratnya hanya tinggal berjalan selangkah saja belum menjamin penghuninya selalu shalat berjama’ah. Apalagi rumahnya agak jauh. Apalagi punya kesibukan. Apalagi ini, apalagi itu.
Memang untuk itu adanya iman. Tanpa iaman mana mungkin orang datang shalat. Sekedar datang ke masjid saja berat, apalagi shalat berjama’ah secara rutin lima kali sehari. Ini bisa dibuktikan. Undanglah pengajian di masjid, yang datang bisa dihitung dengan jari. Tapi bikinlah undangan pengajian di rumah, yang datang pasti berjubel. Maka betul firman Allah: “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah. Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS At Taubah : 18)
Adalah kewajiban semua mukmin memakmurkan masjidnya, utamanya tetangga dekat masjid. Salah satu acara pokok rutin harian yang harus diwujudkan adalah menghidupkan suasana shalat berjama’ah selain majlis ta’lim dan aktivitas lainnya.
Disebut masjid karena tempat itu dijadikan kamu muslimin sebagai tempat sujud. Karenanya di setiap masjid hendaknya dikumandangkan adzan tepat pada waktunya, agar para jama’ah segera bangkit meninggalkan kesibukannya untuk mendatangi masjid. Shalat berjama’ah itu lebih penting dari apapun juga. Perdagangan bagaimanapun besar keuntungannya tak bisa dibandingkan dengan nilai shalat berjama’ah. Hanya saja kebanyakkan kita belum tahu atau tidak mau tahu.
Karenanya beratlah tugas imam rawatib, sebaiknya yang menjadi imam rawatib itu adalah tokoh masyarakat. Tugasnya tidak hanya mengimami shalat berjama’ah, tapi juga menjadi imam masyarakatnya. Bahkan kalau bisa, tugas-tugas kemasyarakatan itu diselesaikan di masjid. Dengan begitu akan terasa bahwa masjid itu merupakan pusat ibadah dan budaya Islam.
Sebagaimana Rasulullah, beliau tidak saja sebgai tokoh spiritual yang kiprahnya di masyarakat hanya sebagai tukang do’a. selain sebagai imam shalat Beliau juga imam di medan peperangan, imam dalam segala segi kehidupan. Kepemimpinan Nabi itu dipusatkan di masjid.
Wajar bila Rasulullah memilih rumah persis berdampingan dengan masjid, karena beliau adalah imam rawatibnya. Model masjid yang ideal adalah yang menyediakan rumah buat imam rawatib, sebagaimana model masjid Nabawi di madinah. Dengan begitu suasana kesemarakan dan kesakralan masjid tetap terawat dan terjaga.
Sayang masjid-masjid kita sekarang ini tidak lagi mencontoh model masjid Nabawi. Bahkan banyak masjid yang tidak memiliki imam rawatib. Ada masjid yang pada saat-saat tertentu libur shalat jama’ah, karena imam tidak ada sementara ma’mumnya shalat sendiri-sendiri. Ada juga karena imam rawatibnya tidak ditunjuk akhirnya setiap shalat berjama’ah hendak didirikan antar makmum saling dorong agar bersedia menjadi imam. Ini namanya imam dorongan.
Lebih tragis lagi ternyata ada masjid yang selalu ribut. Pasalnya, ada dua orang yang saling berebut menjadi imam. Masing-masing juga punya pengikut. Akhirnya suasana ibadah tidak lagi khidmat dan khusyu’ malah terasa gerah.
Imam rawatib itu mutlak harus ada pada setiap masjid, tanpa imam tidak ada jama’ah. Imam ini harus terseleksi di antara anggota jama’ah yang paling dalam ilmu agamanya, paling baik bacaannya yang lebih tua umurnya, dan tak kalah pentingnya yang paling disenangi oleh anggota jama’ah. Imam yang dibenci seharusnya tahu diri, harap mundur.
Barangsiapa berwudhu dengan air mengalir kemudia shalat berjama’ah di belakang imam yang baik bacaannya maka sungguh ia telah mendapatkan rahmat dari Allah Maha Pencipta.
Dalam suatu hadits, Rasulullah bersabda: “Sepuluh golongan yang tidak diterima shalatnya oleh Allah swt. Yaitu: seorang yang shalat sendirian tanpa suatu bacaan, seorang yang shalat tapi tidak mengeluarkan zakat, seorang jadi imam pada sekelompok kaum tapi ia sendiri dibenci oleh kelompok tersebut, budak yang lari dari majikannya, seorang yang meminum minuman keras, perempuan yang sedang dimarahi suaminya, perempuan yang shalat tanpa kerudung, pemimpin yang zalim, seorang pemakan riba, seseorang yang shalat tapi tidak bisa menghilangkan yang mungkar.”

BENTUK DAN MACAM SIKSA KUBUR SERTA LAMANYA

Setelah kita baca keterangan yang mengemukakan tentang siksa kubur, baik ayat Al-Qur’an, hadits, atsar sahabat maupun riwayat-riwayat yang sahih, maka dapat memberi pengertian kepada kita bahwa bentuk dan berbagai macam siksaan kubur itu antara lain berupa :

  1. Kubur menghimpit mayat durhaka sehingga remuk rendamlah tulang iganya. Lalu dinampakkan neraka setiap pagi dan petang.
  2. Kubur menjadi gelap, lalu mayat durhaka itu diperlihatkan bakal tempatnya dan tersiksa sekejappun tiada merasa nikmat, ia akan selalu merasa duka lagi sengsara selama di alam kubur.
  3. Dengan pukulan palu yang dihantamkan oleh Munkar dan Nankir terhadap mayat yang tidak dapat menjawab pertanyaannya, sebab si mayat itu adalah orang kafir, yang tidak mnegnal Tuhan, tidak punya agama, tidak tahu Muhammad sebagai Rasul, Al-Qur’an sebagai pedoman dan sebagainya.
  4. Ada pula yang digerogoti kalajengking dan ulat-ulat yang menakutkan. Sebagaimana jawaban nabi atas pertanyaan sahabat. Yaitu siksa bagi orang kafir dalam kuburnya itu sangat sadis berupa sembilan puluh sembilan tanim. Yaitu 99 ular, setiap ular itu mempunyai tujuh kepala, yang mencakari dan menjilat serta menyembur pada tubuhnya, sampai dengan segala perangainya yang jahat, seperti sifat sombong, tiya’, sum’ah, ujub, penipu, dan busuk hati serta sifat-sifat buruk yang lainnya (Ihya’ IV).
  5. Juga adanya api yang menyala sebagai siksaan di alam kubur. Sebagaimana disebutkan dalam suatu riwayat, bahwa siksa kubur berupa api anatara lain akibat perbuatan si mayat dikala hidupnya mempermudah atau mengabaikan atau menunda-nunda mengerjakan shalat. Sebagimana hikayat yang disebutkan dalam Irsyadul ‘Ibad, Zainudiin Al-malibari : Seorang saleh mengubr saudaranya perempuan yang telah mati, tiba-tiba dompet uangnya jatuh dengan tidak terasa, hingga pulang ia baru ingat, maka segera kembali kekubur untuk digalinya, setelah digali tiba-tiba kubur itu menyala api, maka segera ditutp kembali, dan segera pulang kerumah sambil menangis bertanya pada ibunya : “Hai ibuku, beritahukan padaku apakah amal saudaraku itu?” Sahut ibunya :”Mengapa kamu tanya hal itu? Jawabnya :”Wahai ibu, saya telah melihat kuburnya menyala api.” Maka menangislah ibunya dan berkata : “Saudaramu biasa meringankan shalat dan mengakhirkan waktunya.”
  6. Dalam kitab Azzawijr susunan Ahmad bin Hajar Al-Haitami berkata, disebutkan dalam hadits : “……………siapa yang meremehkan (meninggalkan) shalat akan dihukum oleh Allah dengan lima belas siksa. Lima di dunia, dan tiga ketika mati, dan tiga didalam kubur, dan tiga ketika keluar dari kubur…….Adapun hukuman yang menimpa dalam kubur :
    1. Disempitkan kubur sehingga hancur tulang-tulang rusuknya.
    2. Dinyalakan api dalam kubur, maka ia bergelimang adalm api siang dan malam.
    3. didatangkan padanya ular yang bernama syuja’ yang buta matanya lagi berapi dan kukunya dari besi, tiap kuku panjangnya perjalanan sendiri, ia berkata pada si mayat : “Aku syuja’ al-‘aqra’, sedang suaranya bagaikan petir yang menyambar, ia berkata : Allah telah menyuruhkan memukul kamu karena meninggalkan shalat subuh hingga terbit matahari, dan memukul kamu karena meninggalkan shalat dzuhur hingga ashar, dan memukul kamu karena meninggalkan shalat ashar hingga maghrib, dan memukulmu karena meninggalkan shalat maghrib hingga isya’, dan memukulmu karena meninggalkan shalat isya’ hingga subuh, dan tiap memukulmu satu kali terbenamlah orang itu kedalam tanah tujuh puluh hasta, maka ia selalu tersiksa dalam kubur hingga kiamat”.
  7. Diantara manusia setelah mati dan dikuburkan ada yang perbuatan kejahatannya sewaktu didunia berubah menjadi binatang buas, kucing, serigala, anjing maupun babi sesuai dengan dosanya, lalu mayat itu disiksa olehnya lantaran kejahatannya itu.
  8. Menurut Al-Qurthubi, diantara manusia setelah dikuburkan ada yang menjerit pada waktu disual dalam kubur. Demikian bila ia orang yang tidak dapat menjawab : Tuhanku adalah Allah, Nabiku Muhammad, Al-Qur’an kitabku dan sebagainya. Lalu dua orang malaikat memukulnya dengan satu pukulan hingga kuburnya menyala api secara terus menerus selama dunia ini masih ada. Begitu pula kalau si mayat tidak dapat menjawab “Islam adalah agamaku” sebab sewaktu masih hidup ia meragukannya, maka datngalah fitnah padanya ketika ia mati, lalu dua malaikat memukulnya dengan satu pukulan sampai kuburnya bena-benar berupa api yang menyala-nyala.
  9. Bagi mayat pendusta …………… maka dibukakanlah baginya pintu ke neraka, lalu ia dapat melihat rantai-rantai neraka, ular-ularnya, kalangjengking-kalajengkingnya, belengu-belenggunya dan segala macam isi neraka yang berupa darah, nanah dan zaqqum (sebatang pohon yang keluar dari dasar neraka yang menyala, buahnya seperti kepala-kepala syetan. (QS. Ash-Shaffat : 64-65). Lalu tempatnya diganti oleh Allah dengan suatu tempat dari neraka.
  10. Dalam suatu riwayat ada mayit yang disiksa dalam kubur diikat oleh ular yang panjang, dan ada alagi yang dicakari sejenis binatang buas yang mirip rupa kucing.

Begitulah antara lain bentuk dan macam siksa kubur. Hal itu terjadi sudah barang tentu sebagai akibat perbuatan jahat sebagiamna tersebut dalam bab “Yang menyebabkan siksa kubur” dimuka. Kita yakin terhadap adanya siksa kubur semacam itu, karena dalam hal ini Rasulullah sendiri selalu berdo’a kepada Allah dan mohon perlindungan-Nya dari siksaan kubur itu, sebagaimana warta dari Anas ra. katanya :

Artinya : “Adalah Rasulullah saw. senantiasa berdo’a : “Ya Allah, sesungguhnya saya berlindung kepada-Mu dari lemah dan malas, takut dan kikir. Dan saya berlindung kepada-Mu dari siksa kubur serta cobaan hidup dan mati.” (Hadits diriwayatkan Imam Muslim)

Berdasarkan hadits sahih tersebut menunjukkan tentang adanya siksa kubur. Dan seseorang akan menerima siksaan kubur dengan bentuk dan macamnya itu, sesuai dengan perbuatan dosa yang telah dilakukannya. Malahan terdapat hadits-hadits Nabi yang menerangkan adanya penawanan roh-roh yang telah mati dan berada di alam kubur dari tempatnya yang mulia. Inipun boleh dikatakan sejenis siksaan alam kubur. Sekalipun roh-roh orang mu’min, yang mestinya dapat menempati tempatnya yang mulia. Hal ini dijelaskan dalam hadits, disebabkan oleh tanggungan hutang yang belum dibayar. Maka mengakibatkan rohnya dapat tertawan dari tempatnya yang mulia.

Warta dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda :

Artinya : “Jiwa seseorang mu’min itu digantungkan atas hutangnya sehingga hutangnya itu dibayar.” (H.R. Turmudzi, Ibnu Majah dan Al-Baihaqy)

Ulama memberikan komentar, bahwa yang dimaksud “digantungkan” itu adalah ditahan dari tempatnya yang mulia.

Kemudian dalam hadits yang diwartakan Anas demikian :

Artinya : “Kami disisi Nabi saw. beliau datang dengan lelaki yang akan bershalat padanya, maka beliau bersabda : “Apakah bagi kawanmu ada hutang?”. Mereka menjawab : “Benar” Nabi bersabda : “Maka bagaimana saya bershalat terhadap lelaki yang rohnya lewat dalam kuburnya, rohnya tak dapat naik kelangit”. Kalau seseorang menaggung hutangnya, maka kau berdiri lalu shalat untuknya, sebab shalatku dapat memberikan manfaat kepadanya”. (HR. Thabrani)

Disebutkan pula dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al-Ausath dan oleh Al-Baihaqy dan Ashbahani dalam At-Targhib dari Samurah bin Jundub :

Artinya : “Bahwasanya Nabi saw. mengerjakan sahalat subuh maka beliau bersabda : “Apakah disini terdapat salah seorang dari anak si Fulan………, sebab kawan kamu sekalian telah tertawan dipintu syurga dengan hutang yang ditanggungnya…………”

Juga hadits Nabi yang diwartakan dari Jabir demikian :

Artinya :”Bahwasanya ada seseorang yang mati sedang dia mempunyai tanggungan hutang sebesar dua dinar, maka Nabi saw. tidak mau menshalati kepadanya, lalu Abu Qatadah menanggung dua dinar itu. Maka beliau berkenan menshalatinya.” (HR. Ahmad dan Al-Baihaqy)

Ada disabdakan pula oleh Rasulullah saw. :

Artinya :”Orang yang mempunyai hutang itu akan ditawan karena hutangnya pada hari kiamat”.

Warta dari Ibnu Abbas ra. bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. setelah shalat subuh kemudian beliau pernah bersabda :

Artinya : ”Disini terdapat salah seorang dari Hudzail bahwa teman kamu sekalian tertawan dipintu syurga dengan tanggungan hutangnya”. (HR. Al-Bazar dan Thabrani)

Ditawarkan dari Sa’id bin Athwal berkata : “Bapak kami mati danmeninggalkan 300 dirham serta keluarga dan hutang, lalu aku bermaksud akanmembelanjakan hartanya untuk keluarganya. Maka Rasulullah saw. bersabda :

Artinya : “Sesungguhnya bapakmu tertawan dengan hutangnya, maka hendaklah anda bayarkan dari padanya”. (HR. Ahmad)

Dari Al-Barra’ bin ‘Azib bahwasanya Rasulullah saw. bersabda :

Artinya : “Orang yang mempunyai hutang tertawan dengan hutangnya ia mengadukan kepada Allah dengan sendirinya” (HR. Thabrani : Al-Ausath)

Itulah hadits-hadits yang mengemukakan dengan jelas mengenai sesuatu yang dapat menawan roh dari tempatnya yang mulia (syurga).

Dari hadits-hadits tersebut mengemukakan bahwa sesuatu yang dapat menawan roh-roh orang mu’min dari tempatnya yang mulia adalah masalah “HUTANG” yang belum dibayarkan ketika ia masih hidup, sehingga dapat menghalangi untuk masuk kesyurga?

Di muka telah kita ketahui, bahwa kehidupan di alam kubur (barzakh) itu sifatnya hanay sementara saja, yaitu sampai datang dan terjadinya hari kiamat. Lalu akan mengalami kehidupan di alam yang terakhir yaitu alam akhirat. Dengan demikian maka dapat menimbulkan pertanyaan mengenai lamanya siksa kubur.

“Apakah siksa kubur itu terus menerus setiap saat sampai hari kiamat? Ataukah siksa kubur itu dapat terputus dan terhenti pada waktu tertentu?”

Jawaban pertanyaan tersebut menurut Ibnu Qayyim ada dua macam :

Pertama :

Benar apa yang telah disebutkan dalam sebagian hadits-hadits Nabi, bahwa mereka itu diringankan siksanya anatar dua tiupan sangkakala di hari kiamat, sewaktu mereka sama berdiri dibangkitkan dari kuburnya dengan katanya, sebagiamna Firman Allah :

Artinya : “Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur) ?” (QS. 36 Yaa Siin :52)

Adapun yang menunjukkan bahwa siksa itu berlangsung terus menrus adalah sebagaiman diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala :

Artinya : “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang “ (QS. 40 Al-Mu’min : 46)

Dan juga sebagai dalil adanya kelangsungan siksa kubur adalah seperti hadits Samurah yag diriwayatkan oleh Bukhari didalam impian Nabi saw. dimana dia mengalaminya samapi hari kiamat.

Demikian pula hadits Ibnu Abbas ra. tetantang dua pelepah kurma yang keduanya dapat meringankannya selagi pelepah itu belum kering. Sedangkan meringankan itu sebagai ikatan terhadap keringnya kedua pelepah itu saja.

Juga tentang hadits Al-Barra’ bin ‘Azib mengenai kisah orang kafir ……. Kemudian dibukakanlah baginya suatu pintu ke neraka, lalu ia melihat kepada tempatnya di neraka itu sampai datangnya kiamat. Dan masih ada pula hadits-hadits yang lain.

Kedua :

Sampai pada suatu masa tertentu, lalu siksanya diputus dan dihentikan. Yaitu mengenai siksa sebahagian orang ahli maksiat yang ringan dosanya. Maka ia disiksa sesuai dengan dosanya lalu siksa itu diringankan baginya sebagaimana ia disiksa di neraka pada suatu masa kemudian siksa itu habis dari padanya. Demikian asal ia seorang mu’min dan banyak beramal sholeh, namun terdapat kemaksiatan-pen. Adapun siksaan itu dapat terputus dari simayat, adalah disebabkan oleh do’a, atau sedekah, atau istighfar, atau pahala haji, ataupun bacaan-bacaan yang sampai kepadanya dari kiriman para kerabatnya atau yang lain. Hal ini sebagaimana syafa’at itu terhadap orang yag disiksa, lalu disiksa itu dapat habis disebabkan lantaran syafa’atnya. Akan tetapi perlu diketahui, bahwa syafa’at itu tak mungkin terjadi tanpa seijin Allah dan kehendak-Nya. Sebab seseorang itu tidak mungkin memberikan syafa’at itu kalau tidak dengan ridho Allah dan perkenan-Nya. Sebagimana firman Allah swt. :

Artinya : “Siapakah yang dapat memberi syafa’at disisi Allah tanpa izinNya?” (QS. 2 Al Baqarah : 255)

Baca pula QS. 21 Al-Anbiya’ : 28, QS. 10 Yunus :3, QS. 34 Saba’ : 23

Dan firman Allah swt. :

Artinya : “Katakanlah : “Hanya kepunyaan Allah syafa’at itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi”. (QS. 39 Az-Zumar : 44)

Telah disebutkan Ibnu Abi Dunya, menceritakan kepadaku Muhammad bin Musa Ash-Shaigh, Abdullah bin Nafi’ berkata : seorang dari ahli Madinah mati, maka seorang melihatnya bahwa ia seolah-olah ahli neraka, lalu ia berduka cita terhadap hal itu, kemudian setelah berlalu dan suatu kali atau yang keduanya ia melihatnya lagi seolah-olah orang yang mati itu termasuk ahli syurga. Maka ia bertanya : “Tidakkah keadaanmu telah kukatakan bahwa kamu dari ahli neraka”, katanya : keadaan seperti itu karena ada seorang yang dikuburkan bersama kami, dimana ia seorang yang saleh, lalu ia memberikan syafa’at terhadap empatt puluh orang dari tetangganya, sedang saya termasuk mereka.

Juga kata Ibnu Abi dunya dari Ahmad bin Yahya berkata : Sebagian sahabat kami mengatakan : “Saudaraku telah mati, lalu aku melihatnya didalam tidur dan tanyaku : Bagaimana keadaanmu ketika kami diletakkan didalam kubur?” Sahutnya : “Ada seorang yang datang kepadaku dengan cahaya dari api yang mana setiap panggilan dimana ia memanggil aku kulihat bahwasanya ia akan memukulku”.

Berkata Amru bin Jarir : “Apabila seorang hamba berdo’a untuk saudaranya yag telah mati, maka datanglah seorang malaikat kepadanya dengan do’a kekuburnya seraya berkata : “Wahai penghuni kubur yang asing, ada hadiah dari saudara buat anda”.

Basyar bin Ghalib berkata : “Saya melihat Rabi’ah dalam tidurku, sedang saya meperbanyak do’a untuknya.maka ia berkata kepadaku : “Wahai Bsayar bin Ghalib, hadiah-hadiah anda sampai kepada kami ditempat makan dari nur yang merah dengan sapu tangan dari sutera. Kataku : bagaimana seperti itu, sahutnya : “Demikian itulah do’a orang-orang mu’min yang masih hidup apabila mereka sama berdo’a buat orang-orang yang telah mati, mereka diperkenankan dan do’a itu dijadikan diatas tempat-tempat makan dari nur dengan sapu tangan-sapu tangan sutera kemudian datang dengannya yang berdo’a kepadanya dari orang-orang mati dan dikatakan : “inilah hadiah si Fulan buat anda”.

Kemudian tentang kemanfaatan dan hadiah orang-orang yang masih hidup buat yang sudah mati itu ada pembahasan tersendiri dan jawabannya!

MAKAN DAN MINUM

Orang muslim melihat makanan dan minuman itu sebagai sarana, dan bukan tujuan. Ia makan dan minum untuk menjaga kesehatan badannya karena dengan badan yang sehat, ia bisa beribadah kepada Allah Ta’ala dengan maksimal. Itulah ibadah yang menyebabkannya memperoleh kemuliaan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ia tidak makan dan minum karena makanan dan minuman, serta syahwat keduanya saja. Oleh karena itu, jika ia tidak lapar maka ia tidak makan, dan jika ia tidak kehausan maka ia tidak minum. Rasulullah SAW bersabda,

“ Kami adalah kaum yang tidak makan kecuali kami lapar, dan jika kami makan maka kami tidak sampai kekenyangan “

Etika Sebelum Makan

Etika sebelum makan adalah sebagai berikut ;

  • Makanan dan minumannya halal, bersih dari kotoran-kotoran haram, dan syubhat, karena Allah Ta’ala berfirman,

“ Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian. “ (Q.S Al-Baqarah : 172)

Yang dimaksud dengan rezki yang baik ialah halal yang tidak ada kotoran didalamnya.

  • Ia meniatkan makanan dan minumannya untuk menguatkan ibadahnya kepada Allah SWT agar ia diberi pahala karena apa yang ia makan, dan minum. Sesuatu yang mubah jika diniatkan dengan baik, maka berubah statusnya menjadi ketaatan dan seorang Muslim diberi pahala karenanya.
  • Ia mencuci kedua tangannya sebelum makan jika keduanya kotor, atau ia tidak dapat memastikan kebersihan keduanya.
  • Ia meletakkan makananya menyatu diatas tanah, dan tidak diatas meja makan, karena cara tersebut lebih dekat kepada sikap Tawadlu dan karena ucapan Anas bin Malik Ra,

“ Rasulullah SAW tidak pernah makan diatas meja makan, atau dipiring.” (Diriwayatkan Al-Bukhari)

  • Ia duduk dengan Tawadlu dengan duduk berlutut, atau duduk diatas kedua tumitnya, atau menegakkan kaki kanannya dan ia duduk diatas kaki kirinya, seperti duduknya Rasulullah SAW, karena Rasulullah SAW bersabda,

“ Aku tidak makan dalam keadaan bersandar, karena aku seorang budak yang makan seperti makannya budak, dan aku duduk seperti duduknya budak. “ (Diriwayatkan Al-Bukhari)

  • Menerima makanan yang ada dan tidak mencacatnya, jika ia tertarik kepadanya maka ia memakannya, dan jika ia tidak tertarik kepadanya maka ia tidak memakannya, karena Abu Hurairah Ra berkata, “ Rasulullah SAW tidak pernah sekalipun mencacat makanan, jika beliau tertarik kepadanya maka beliau memakannya, dan jika beliau tidak tertarik kepadanya maka beliau meninggalkannya.” ( Diriwayatkan Abu Daud )
  • Ia makan bersama orang lain, misalnya dengan tamu, atau isteri, atau anak, atau pembantu, karena Rasulullah SAW bersabda,

“ Berkumpullah kalian di makanan kalian, niscaya kalian diberi keberkahan didalamnya. “ ( Diriwayatkan Abu Daud dan At-Tarmidzi yang menshahihkannya)

Etika Ketika Sedang Makan

Diantara etika sedang makan ialah sebagai berikut :

  • Memulai makan dengan mengucapkan Basmallah, karena Rasulullah SAW bersabda,

“ Jika salah seorang dari kalian makan, maka sebutlah nama Allah Ta’ala. Jika ia lupa tidak menyebut nama Allah, maka hendaklah ia menyebut nama Allah Ta’ala pada awalnya dan hendaklah ia berkata, “ Dengan nama Allah, sejak awal hingga akhir.” (Diriwayatkan At-Tarmidzi yang meng-shahih-kannya)

  • Mengakhiri makan dengan memuji Allah Ta’ala, karena Rasulullah SAW bersabda,

“ Barangsiapa makan makanan, dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang memberi makanan ini kepadaku, dan memberikannya kepadaku tanpa ada daya dan upaya dariku, maka dosa-dosa masa lalunya diampuni.” (Muttafaq Alaih)

  • Ia makan dengan tiga jari tangan kanannya, mengecilkan suapan, mengunyah makanan dengan baik, makan dari makanan yang dekat dengannya (pinggir) dan tidak makan dari tengah piring, karena dalil-dalil berikut :

Rasulullah SAW bersabda kepada Umar bin Salamah,

“ Hai anak muda, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari makanan yang dekat denganmu (pinggir).” (Muttafaq Alaih)

Rasulullah SAW bersabda,

“ Keberkahan itu turun ditengah makanan. Maka oleh karena itu, makanlah dari pinggir-pinggirnya, dan jangan makan dari tengahnya.” (Muttafaq Alaih)

  • Mengunyah makanan dengan baik, menjilat piring makanannya sebelum mengelapnya dengan kain, atau mencucinya dengan air, karena dalil-dalil berikut:

Rasulullah SAW bersabda,

“ Jika salah seorang dari kalian makan makanan, maka ia jangan membersihkannya jari-jarinya sebelum ia menjilatnya.” (Diriwayatkan Abu Daud dan At-Tarmidzi yang meng-shahih-kannya)

Ucapan Jabir bin Abdullah Ra bahwa Rasulullah SAW memerintahkan menjilat jari-jari, dan piring. Beliau bersabda,

“ Sesungguhnya kalian tidak mengetahui di makanan kalian yang mana keberkahan itu berada.” (Diriwayatkan Muslim)

  • Jika ada makanannya yang jatuh, ia mengambil dan memakannya, karena Rasulullah SAW bersabda,

“ Jika sesuap makanan kalian jatuh, hendaklah ia mengambilnya, membuang kotoran daripadanya, kemudian memakan sesuap makanan tersebut, serta tidak membiarkannya dimakan syetan.” (Diriwayatkan Muslim)

Tidak meniup makanan yang masih panas, memakannya ketika telah dingin, tidak bernafas di air ketika minum, dan bernafas di luar air hingga tiga kali, karena dalil-dalil berikut :

Hadits Anas bin Malik Ra berkata,” Rasulullah SAW bernafas diluar tempat minum hingga tiga kali.” (Muttafaq Alaih)

Hadits Abu Sa’id Al-Khudri Ra bahwa Rasulullah SAW melarang bernafas di minuman. (Diriwayatkan At-Tarmidzi yang meng-shahih-kannya)

Hadits Ibnu Abbas RA bahwa Rasulullah SAW melarang bernafas di dalam minuman, atau meniup didalamnya. (Muttafaq Alaih)

  • Menghindari kenyang yang berlebih-lebihan, karena Rasulullah SAW bersabda,

“ Anak Adam tidak mengisi tempat yang lebih buruk daripada perutnya. Anak Adam itu sudah cukup dengan beberapa suap yang menguatkan tulang punggungnya. Jika ia tidak mau (tidak cukup), maka dengan sepertiga makanan, dan dengan sepertiga minuman, dan sepertiga yang lain untuk dirinya.” (Diriwayatkan Ahmad, Ibnu Majah, dan Al-Hakim. Hadits ini Hasan)

  • Memberikan makanan atau minuman kepada orang yang paling tua, kemudian memutarnya kepada orang-orang yang berada disebelah kanannya dan seterusnya, dan ia menjadi orang yang paling terakhir kali mendapatkan jatah minuman, karena dalil-dalil berikut :

Sabda Rasulullah SAW, “ Mulailah dengan orang tua. Mulailah dengan orang tua.”

Maksudnya, mulailah dengan orang-orang tua.

Rasulullah SAW meminta izin kepada Ibnu Abbas untuk memberi makanan kepada orang-orang tua disebelah kiri beliau, sebab Ibnu Abbas berada disebelah kanan Beliau, sedang orang-orang tua berada disebelah kiri Beliau. Permintanan izin Rasulullah SAW kepada Ibnu Abbas untuk memberikan makanan kepada orang-orang tua disebelah kiri beliau itu menunjukkan bahwa orang yang paling berhak terhadap minuman ialah orang yang duduk disebelah kanan.

Sabda Rasulullah SAW,

“ Pemberi minuman ialah orang yang paling akhir meminum.”

  • Ia tidak memulai makan, atau minum, sedang diruang pertemuannya terdapat orang yang paling berhak memulainya, karena usia atau karena kelebihan kedudukannya, karena hal tersebut melanggar etika, dan menyebabkan perilakunya dicap rakus. Salah seorang penyair berkata, “ Jika tangan-tangan dijulurkan kepada perbekalan, maka aku tidak buru-buru mendahului mereka, sebab orang yang paling rakus ialah orang yang paling buru-buru terhadap makanan.
  • Tidak memaksa teman atau tamunya dengan berkata kepadanya, “ Silahkan makan,” namun ia harus makan dengan etis (santun) sesuai dengan kebutuhannya tanpa merasa malu, atau memaksa diri malu-malu, sebab hal tersebut menyusahkan teman atau tamunya, dan termasuk riya, padahal riya itu diharamkan.
  • Ramah terhadap temannya ketika makan bersama dengan tidak makan lebih banyak dari porsi temannya, apalagi jika makanan tidak banyak, karena makan banyak dalam kondisi seperti itu termasuk memakan hak (jatah) orang lain.
  • Tidak melihat teman-temannya ketika sedang makan, dan tidak melirik mereka, karena itu bisa membuat malu kepadanya. Ia harus menahan pandangannya terhadap wanita yang makan di sekitarnya, dan tidak mencuri-curi pandangan terhadap mereka, karena hal tersebut menyakiti mereka, membuat mereka marah dan ia pun mendapat dosa karena perbuatannya tersebut.
  • Tidak mengerjakan perbuatan-perbuatan yang dipandang tidak sopan oleh masyarakat setempat. Misalnya, ia tidak boleh mengibaskan tangannya di piring, tidak mendekatkan kepalanya kepiring ketika makan agar tidak ada sesuatu yang jatuh dari kepalanya kepiringnya, ketika mengambil roti dengan giginya ia tidak boleh mencelupkan sisanya didalam piring, dan tidak boleh berkata jorok, sebab hal ini mengganggu salah satu temannya, dan mengganggu seorang Muslim itu haram hukumnya.
  • Jika ia makan bersama orang-orang miskan, ia harus mendahulukan orang miskin tersebut. Jika ia makan bersama saudara-saudaranya, ia tidak ada salahnya bercanda dengan mereka dalam batas-batas yang diperbolehkan. Jika ia makan bersama orang yang berkedudukan, maka ia harus santun, dan hormat terhadap mereka.

Etika Setelah Makan

Diantara etika setelah makan ialah sebagai berikut :

  • Ia berhenti makan sebelum kenyang. Karena meniru Rasulullah SAW agar ia tidak jatuh dalam kebinasaan, dan kegemukan yang menghilangkan kecerdasannya.
  • Ia menjilat tangannya, kemudian mengelapnya, atau mencucinya, namun mencucinya lebih baik.
  • Ia mengambil makanan yang jatuh ketika ia makan, karena ada anjuran terhadap hal tersebut, dan karena itu adalah bagian dari syukur ni’mat.
  • Membersihkan sisa-sisa makanan di gigi-giginya, dan berkumur untuk membersihkan mulutnya, karena dengan mulutnya itulah ia berdzikir kepada Allah Ta’ala, berbicara dengan saudara-saudaranya, dan karena kebersihan mulut itu memperpanjang kesehatan gigi.
  • Memuji Allah Ta’ala setelah ia makan, dan minum. Ketika ia minum susu, ia berkata, “ Ya Allah, berkahilah apa yang Engkau berikan kepada kami, dan tambahilah Rizki-mu (kepada kami).”
  • Jika berbuka puasa ditempat orang, ia berkata, “ Orang-orang yang mengerjakan puasa berbuka puasa ditempat kalian, orang-orang yang baik memakan makanan kalian, dan semoga para malaikat mendoakan kalian.”

ADAB DAN TUNTUNAN MAKAN

Remeh sekali kelihatannya, sekedar makan. Setiap orang dewasa pasti telah bisa melakukannya sendiri, sekalipun tanpa aturan. Ternyata Islam memperhatikan soal bagaimana cara makan, apa yang dimakan, dari mana mendapatkan makanan, dan untuk apa makan atau apa yang dikerjakan setelah makan. Benar-benar menakjubkan.

Soal-soal besar diatur dengan rapi dalam Islam, seperti urusan pemerintahan, sosial, politik, ekonomi, dan pendidikan. Inilah karakteristik Islam, Ia Dien yang Syamil (menyeluruh) mengatur segala aspek kehidupan manusia di dunia.

Mungkin ada yang menganggap makan adalah urusan rutinitas kebutuhan perut semata. Artinya ia makan karena ia lapar, sehingga lepas dari konteks ibadah. Padahal, setiap Muslim mestinya sadar, ia makan karena dengan itu ia menjadi kuat melakukan ibadah. Ia makan karena makan itu adalah ibadah. Ia makan karena makan adalah perintah Allah SWT :

“ Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) Masjid, makan dan minumlah dan janganlah berlebihan....” (Q.S Al-A’raf :31)

Dengan demikian jelas bagi kita makan bukan sekedar kebutuhan biologis manusia. Jika hanya karena itu, tentu tidak ada bedanya dengan binatang melata sekalipun. Binatang tidak memiliki adab makan, ia makan apa saja yang ia suka, tidak pernah mau tahu milik siapa yang dimakannya itu. Namun kadang manusia lebih buruk lagi dari binatang, sebab binatang, sekalipun suka memakan apa saja, tetapi sebatas untuk dirinya sendiri. Manusia suka menumpuk-numpuk kekayaan untuk jatah makan sampai tujuh turunan, walaupun didapat dengan jalan yang tidak halal.

Inilah letak spesifikasi kaum Muslimin dibandingkan dengan kaum lain. Kaum Muslimin diperintahkan untuk memperhatikan aturan-aturan Islam, termasuk dalam hal makan. Adapun adab dan tuntunan makan dalam islam, adalah :

  • Memperhatikan Apa Yang Dimakan

Makan tidak sekedar memasukkan makanan kedalam mulut, namun mesti diperhatikan : apa yang dimakan itu, halalkah, haram atau syubhat? Baik dilihat dari zat makanan itu sendiri, ataupun dilihat dari asal didapatkannya. Allah berfirman :

“ hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu....” (Q.S Al-Baqarah :172)

Yang diperintahkan bukan sekedar makan, tetapi dari rezki Allah yang baik-baik (Thayyiban). Berarti makanan itu halal sekaligus Thayyib.

  • Berdoa sebelum makan

Didorong kesadaran yang penuh bahwa makan adalah sebagian yang utuh dari ibadah, maka sebelum makan dituntunkan membaca Basmallah. Umar bin Abi Salamah Ra berkata :

“ Rasulullah SAW mengajarkan kepadaku. Bacalah Bismillah dan makanlah dengan tangan kananmu, dan dari yang dekat-dekat kepadamu.” (H.R Bukhari-Muslim)

  • Apabila terlupa, tidak membaca Basmallah sebelum makan, maka diganti bacaan Bismillahi awalahu wa akhiru (dengan nama Allah yang mula dan akhir). Aisyah Ra berkata bahwa Rasulullah bersabda,

“ Jika salah seorang siantara kamu hendak makan supaya membaca Bismillah, maka jika kamu lupa membaca mulanya, hendaklah membaca Bismillahi awalahu wa akhiru.” (H.R. Abu Daud – At-Tarmidzi)

  • Makan Dengan Tangan Kanan

Makan dengan tangan kanan bukan sekedar adat atau kebiasaan orang Timur, lebih dari itu bahkan dituntunkan dalam Islam, sebagaimana ajaran Rasulullah SAW kepada Umar bin Abi Salamah ra :

“ Dan makanlah dengan tangan kananmu....” (H.R Bukhari Muslim)

  • Tidak Boleh Mencela Makanan

Mencela adalah suatu perbuatan yang tidak terpuji, apapun yang dicela, termasuk makanan. Makanan adalah pemberian dari Allah yang harus disyukuri, bukan untuk dicela. Oleh karena itu jika ada makanan dan tidak suka, hendaklah didiamkan saja, tanpa mencelanya. Abu Hurairah ra berkata :

“ Rasulullah SAW tidak pernah mencela makanan selamanya. Jika ia suka dimakannya, jika ia tidak suka ditinggalkannya.” (H.R Bukhari Muslim)

  • Sunnah Memuji Makanan

Memuji makanan yang ada merupakan bagian dari akhlaq Muslim. Rasulullah tidak pernah mencela makanan bahkan suka memujinya. Jabir ra berkata bahwa :

“ Nabi SAW menanyakan lauk-pauk kepada keluarganya, maka jawab mereka : Tidak ada lauk-pauk kecuali cuka. Maka Nabi SAW meminta cuka untuk dimakan dengan roti yang dihidangkan kepadanya, dambil bersabda, Sebaik-baik lauk adalah cuka, sebaik-baik lauk adalah cuka.” (H.R Muslim)

  • Makan Dari Yang Terdekat

Jika ada hidangan makanan, dituntunkan kepada kita untuk memulai makan dan mengambil dari makanan yang terdekat. Umar bin Abi Salamah ra berkata :

“ Ketika saya masih kecil dibawah asuhan Nabi SAW biasa aku menjulurkan tangan kanan kedalam nampan, maka Nabi SAW bersabda, “ Hai anak, bacalah Bismillah, dan makanlah dengan tangan kanan dan makanlah dari yang dekat-dekat kepadamu.” (H.R Bukhari-Muslim)

  • Sunnah Makan Berjama’ah

Tabiat fitrah manusia adalah berjama’ah. Begitu banyak isyarat dalam Qur’an untuk berjama’ah dalam segala aktivitas. Termasuk dalam hal makan, Rasulullah menuntunkan untuk berjama’ah, jika makan sendiri-sendiri tidak merasakan kenyang. Wasyi bin Harb ra berkata :

“ Sahabat Nabi SAW mengadu : Ya Rasulullah, kami makan dan tidak merasakan kenyang, jawab Nabi : mungkin kamu makan sendiri-sendiri. Jawab mereka, Benar. Bersabda Nabi SAW : Berkumpullah pada makananmu, dan bacalah Bismillah niscaya diberi berkat pada makanan itu.” (H.R Abu Daud)

  • Makan Dari Pinggir Wadah Bukan Dari Tengah

Adab yang lain dari makan, adalah mengambil makanan dimulai dari tepi atau pinggiran wadah, dan bukan dari tengah baru kepinggir. Ibnu Abbas ra berkata, bahwa Nabi SAW bersabda :

“ Berkat itu turun ditengah-tengah makanan, maka makanlah dari tepinya, dan jangan makan dari tengah-tengahnya.” (H.R.Abu Daud ,At Tarmidzi)

  • Makruh Makan Sambil Bersandar

Rasulullah SAW mencontohkan, makan sambil duduk, tanpa bersandar. Abu Juhaifah bin Abdullah ra berkata, bersabda Rasulullah SAW :

“ Saya tidak suka makan dengan bersandar.” (H.R Bukhari)

  • Tuntunan Membersihkan Sisa Makanan

Salah satu adab dalam makan adalah membersihkan sisa-sisa makanan yang masih ada dalam piring, ini sesuai denganajaran untuk tidak mubaxir, sekaligus penghargaan terhadap mkaanan karunia Allah. Ibnu Abbas ra berkata : Bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“ Jika makan salah seorang diantara kamu maka jangan keburu mengusap tangannya sebelum membersihkan makanan yang masih menempel padanya.’ (H.R Bukhari-Muslim)

Dalam riwayat yang lain Jabir ra berkata :

“ Rasulullah menyuruh membersihkan sisa makanan yang di piring maupun yang di jari, sembari bersabda, kamu tidak mengetahui dibagian manakah makananmu yang berkah.” (H.R Muslim)

  • Mengambil Makanan Yang Jatuh

Sedemikian rinci Islam memberikan perhatian terhadap hal makanan, sehingga sampai kepada masalah makanan yang terjatuh pun diberikan perhatian, Rasulullah SAW mengajarkan, agar mengambil makanan yang terjatuh kemudian membersihkan dari kotoran yang melekat dimakanan tersebut dan memakannya. Jabir ra berkata, bahwa Nabi SAW bersabda :

“ Syaithan menghadiri semua urusanmu, hingga di waktu makanmu. Maka apabila jatuh makanan salah seorang diantaramu hendaknya diambil dan dibersihkan kotorannya kemudian dimakan, dan jangan dibiarkan dimakan oleh syaithan.” (H.R Muslim)

  • Berdo’a Seusai Makan

Seusai makan dituntunkan berdo’a sebagai salah satu perwujudan syukur atas karunia Allah. Abu Umamah ra berkata :

“ Adalah Nabi SAW jika selesai makan dan mengangkat hidangannya,membaca (segala puji bagi Allah, pujian yang sebaik-baiknya yang baik dan berkat). Tiada terbalas, dan tidak dapat tidak tentu kami membutuhkan kepadanya. Hai Rabbkami.“ (H.R Bukhari)

  • Kemanfaatan Makan Untuk Ibadah

Makan itu sendiri ibadah, dan setelah makan, tenaga yang didapatkan digunakan sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dalam artian yang luas. Demikianlah ciri Mukmin. Para ahli Ma’shiyat, makan sekedar untuk memenuhi syahwat perut, dan setelah kenyang menambah kuatnya mereka untuk kembali melakukan Ma’shiyat. Oleh karena itu menshifati orang kafir. Allah menunjuk kepada makan mereka:

“ Dan orang-orang yang kafir bersenang-senang (didunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka tempat tinggal mereka.” (Q.S Muhammad :12)